TEMPO.CO, Jakarta - Perwakilan sopir Blue Bird, Didik Puguh Sanotoso (51), mengatakan akan terus menuntut ditutupnya kendaraan berbasis aplikasi. Sebab, angkutan berbasis aplikasi, menurut dia, merupakan kendaraan ilegal yang tidak memiliki izin sebagai angkutan umum.
"Kita ini sudah bayar macam-macam, tapi mereka malah enggak bayar pajak," kata Didik saat ditemui di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin, 14 Maret 2016.
Pada dasarnya, menurut Didik, baik Go-Jek, Grab, maupun Uber merupakan aplikasi yang tidak memiliki izin untuk beroperasi sebagai kendaraan umum. Lebih jauh, Didik mengatakan perusahaan tersebut tidak membayar pajak sebagai kendaraan umum.
Tidak adanya pajak inilah yang, kata Didik, menyebabkan tarif yang dikenakan kendaraan berbasis aplikasi lebih rendah dibandingkan dengan kendaraan umum biasanya. "Kita aja kalau enggak ada surat didenda, tapi mereka kan enggak.”
Menurut Didik, hal ini akhirnya berimbas terhadap penurunan pendapatan. Sopir taksi rata-rata mengalami penurunan pendapatan hampir 40 persen. Untuk Blue Bird, kata Didik, kondisinya meski mengalami penurunan, masih lebih baik dibandingkan taksi lain yang tidak memiliki pangkalan.
Salah satu sopir Blue Bird, Sukamto, mengatakan kondisi sopir Blue Bird pun tak kalah terpukul akibat aplikasi ini. Menurut dia, tak jarang sopir harus menomboki karena tak mendapat penumpang. Dia mengaku pendapatannya berkurang jauh.
Sebelum ada kendaraan berbasis aplikasi, pendapatan yang diperoleh Sukamto sehari-harinya Rp 750 ribu hingga Rp 800 ribu per hari. Namun sekarang pendapatannya turun jauh di bawah itu. "Sekarang dapat Rp 400 ribu saja sudah susah," ujarnya.
Sukamto berharap kendaraan berbasis aplikasi dapat ditutup. Namun, jika memang tidak bisa, Sukamto berharap agar argo disamakan.
"Kalau mau dibikin jenis kendaraan baru, ya, tidak apa-apa, tapi argonya dibuat sama standarnya dengan kita. Jangan beda sendiri seperti sekarang."
Demo ini dilakukan sopir angkutan umum yang bernaung di bawah Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD). Paguyuban ini terdiri atas kendaraan berpelat kuning, baik taksi, bajaj, kopaja, maupun metro mini.
Perwakilan massa menyampaikan sejumlah tuntutan. Tuntutan ini di antaranya mengenai keberadaan angkutan ilegal menggunakan pelat hitam yang difasilitasi oleh perusahaan jasa aplikasi.
Mereka juga mendesak pemerintah segera mengeluarkan Perpres atau Inpres yang mengatur mengenai persoalan transportasi yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Selain itu, PPAD meminta melakukan audiensi dengan pihak pemerintah di Istana Negara. Pengunjuk rasa berharap dapat bertemu dengan Presiden Joko Widodo atau Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Namun belum ada kabar perwakilan diterima oleh Istana.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI