TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pembina Serikat Pekerja PLN Ahmad Daryoko menilai proyek pembangkit 35.000 MW akan membuat PLN bangkrut.
"Proyek tersebut pasti akan merugikan PLN," kata Ahmad di Warung Komando,Tebet, Jakarta Selatan pada Senin, 14 Maret 2016.
Ahmad merinci dari total proyek listrik 35.000 MW, sekitar 30.000 MW dilaksanakan melalui Independent Power Producer (IPP). Sementara sisanya melalui kontrak Engineering, Procurement, and Construction oleh PLN. Klausul "Take or Pay" dinilai akan merugikan PLN dan kontrak EPC sulit dikendalikan.
Menurut Ahmad, proyek IPP telah berjalan sejak era Orde Baru. Sebanyak 27 IPP bermasalah saat itu. Pasalnya, PLN harus membeli listrik dengan harga yang tinggi dari pengembang. "Sampai saat ini harga jual listrik dari pengembang rata-rata masih di atas harga jual PLN ke konsumen," katanya.
Baca: Kominfo Kaji Penghapusan Aplikasi Uber dan GrabCar
Selain itu, dalam kontrak perjanjian jual beli, ada ketentuan PLN harus membeli sebanyak 70 persen daya IPP. Meskipun tidak terpakai dan terjadi over supply, PLN tetap harus membayarnya.
Terkait dengan EPC, Ahmad mengatakan perjanjian dibuat agar desain, pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan, dan perbaikan cacat mutu dilakukan berdasarkan kontrak. Sementara dalam prakteknya, proyek didasarkan kepada konsep rancangan disertai dengan studi awal kondisi proyek.
EPC juga mengatur nilai kontrak sebagai harga yang disepakati dan dinyatakan dalam kontrak. "Sementara, biasanya nilai kontrak sudah ditentukan dari awal berupa lumsump contrak atau fixed price contract," kata Ahmad.
Baca Juga: Menteri Susi Tabrakkan MV Viking ke Karang
Dalam kontrak EPC, kontraktor menilai kegiatan awal seperti survei dan investigasi setelah tanda tangan kontrak. Setelah itu, baru masuk tahap perencanaan dan penentuan spesifikasi teknik. Analisis dampak lingkungan secara paralel disiapkan bekerja sama dengan pemerintah daerah
"Dengan kondisi kontrak seperti itu, pengawas lapangan bahkan pimpro sekalipun tidak memiliki acuan dalam pengawasan," kata Ahmad.
Sebab, rincian desain maupun spesifikasi teknik baru ditentukan setelah meneken kontrak. Akibatnya, kualitas pekerjaan dinilai kurang prima dan nilai kontrak melambung. Ahmad mengatakan kontraktor Pelaksana seringkali mencari alibi mengubah desain sehingga menambah pekerjaan.
VINDRY FLORENTIN