TEMPO.CO, Jakarta - Suhu di Laut Cina Selatan yang masih disengketakan Cina dengan beberapa negara Asia Tenggara memanas karena keberadaan militer Cina. Insiden terakhir terjadi pada Sabtu pekan lalu.
KP Hiu milik TNI Angkatan Laut berupaya menangkap KM Kway Fey 10078, pelaku penangkapan ikan ilegal asal Cina di Perairan Natuna. Proses penangkapan itu tidak berjalan mulus. Sebabnya, ada campur tangan dari kapal Coast Guard Cina yang secara sengaja menabrak KM Kway Fey. Diduga itu dilakukan untuk mempersulit KP Hiu menarik masuk KM Kway Fey.
Soal Laut Cina Selatan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan posisi Indonesia di perairan tersebut. Berikut ini petikan wawancara khusus Retno dengan Tulus Wijanarko, Purwani Diyah Prabandari, Natalia Santi, Raymundus Rikangdari Tempo, pada Selasa pekan lalu.
Tentang perkembangan konflik Laut Cina Selatan, bagaimana sebenarnya sikap Indonesia?
Kita memang harus lebih tegas. Sebab, ada wilayah kita yang berhadapan dengan wilayah yang punya potensi konflik. Saya ingat pernah mengatakan di KTT ASEAN di Kuala Lumpur tahun lalu bahwa Natuna adalah milik Indonesia. Tak bisa ditawar!
Kini sudah diakui. Nah, setelah itu, di sekitarnya berlaku batas laut berdasarkan UNCLOS. Tariklah titik-titik terluar. Kemudian, jika penarikan garis batas laut itu selesai dan ada tumpang-tindih, silakan angkat tangan. Kita negosiasikan overlapping-nya. Di wilayah itu, ada dua negara yang angkat tangan karena merasa wilayahnya tumpang-tindih: Malaysia dan Vietnam.
Sikap Anda tampak tegas terhadap persoalan Laut Cina Selatan….
Saya enggak galak. Saya hanya ingin menyampaikan secara terbuka bahwa Natuna adalah milik Indonesia. Hal yang lebih penting ialah semua pihak harus berupaya menjadikan kawasan sebagai wilayah yang damai dan stabil. Jangan melakukan tindakan yang memancing tensi dan reaksi.
TS