TEMPO.CO, Yogyakarta - Polemik angkutan umum taksi berbasis aplikasi online yang menimbulkan kericuhan dengan pengemudi taksi reguler di Ibu Kota awal pekan ini, belum disikapi Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta dengan mengeluarkan kebijakan tertentu untuk mengantisipasi gejolak serupa.
“Aplikasi online pada taksi untuk mencari penumpang itu sejauh ini, setahu kami, belum diatur dalam peraturan perundangan, kami hanya bisa menganggapnya sebagai bagian marketing, jadi masih bisa beroperasi,” ujar Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta Golkari Made Yulianto, Rabu, 23 Maret 2016.
Namun, Made menyatakan pihak pemerintah daerah tetap memperketat mengeluarkan rekomendasi perizinan operasional bagi angkutan taksi jika hendak beroperasi. Baik yang sudah berbasis aplikasi online atau tidak.
“Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, taksi dengan aplikasi online ini hampir sama seperti layanan ojek online, tak diatur ketentuan soal (penerapan aplikasi online) itu, asal syarat perizinan operasional memenuhi, ya diizinkan beroperasi,” ujar Made.
Data Pemerintah Kota Yogyakarta, saat ini kuota taksi di wilayah DIY sudah penuh, sekitar 1.000 unit armada. Armada itu dikelola sedikitnya 18 perusahaan.
“Kami tidak tahu sudah berapa persen yang menerapkan aplikasi online, karena saat memberikan rekomendasi, soal penggunaan aplikasi itu tak diatur untuk diperiksa,” kata Made.
Dalam aksi demontrasi berujung anarkis di Jakarta, Selasa, 22 Maret 2016, pemerintah didesak membubarkan armada taksi online GrabCar dan Uber Taksi, yang belakangan marak berseliweran di Ibu Kota. Kementerian Perhubungan dalam konferensi pers Rabu, 23 Maret 2016, menyatakan sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, penggunaan aplikasi armada itu ilegal karena belum terdaftar sebagai layanan angkutan umum.
PRIBADI WICAKSONO