TEMPO.CO, Jakarta - Ada satu nama dibalik dua acara yang dibubarkan polisi, dua bulan terakhir. Dia adalah Dhyta Caturani. Dia merupakan ketua panitia pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta--yang sedianya digelar di Goethe Institute, Menteng, Jakarta Pusat, 16 Maret lalu--dan Belok Kiri.Fest, yang dijadwalkan berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, 27 Februari sampai 5 Maret lalu.
Namun Dhyta dan teman-temannya menolak tunduk. "Acara tidak boleh berhenti sebagai bentuk perlawanan terhadap represi," kata Dhyta seperti ditulis Koran Tempo, Kamis, 24 Maret 2016.
Dhyta kecewa karena pengelola Taman Ismail Marzuki melarang pelaksanaan Festival Belok Kiri pada menit-menit akhir. Padahal, dia melanjutkan, teman-temannya sudah memampangkan pernak-pernik di lokasi sejak empat hari sebelumnya. Menurut dia, panitia festival sudah menduga bakal ada tekanan akibat mengusung tema "kiri". "Tapi kami sepakat kata 'kiri' perlu mendapat tempat guna menghapus kesan mengerikan tentang kiri," kata dia.
Beruntung, LBH Jakarta datang untuk mempersilakan festival itu berlangsung di kantor mereka. "Kami memilih membongkar sendiri dan memasang seadanya di LBHJ," kata dia. Karena keterbatasan tempat, festival yang rencananya berlangsung seminggu dijadwalkan ulang menjadi tiap akhir pekan.
Festival Belok Kiri digelar di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Sedangkan nonton bareng Pulau Buru Tanah Air Beta dipindahkan ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat. Kedua acara berlangsung di hari yang sama.
Kerja kerasnya terbayar saat kantor LBH Jakarta dipadati pengunjung saban akhir pekan. "Saya terkejut karena Belok Kiri menjadi pembuka mata bahwa anak muda tak melulu tidak peduli," kata Dhyta. Beberapa permintaan komunitas lokal dan kampus pun berdatangan meminta festival juga digelar di Medan, Semarang, Surabaya, Jombang, Malang, Bali, dan Makassar.
Semangat perlawanan Dhyta, 41 tahun, tumbuh sejak belia. Pada masa sekolah menengah atas, perempuan asal Surabaya ini mengirim surat dukungan kepada mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang pada awal 1990-an itu sering berorasi menentang pemerintahan Soeharto. "Dari situ saya pengen sekali kuliah di UGM," kata dia. Harapannya terkabul. Dalam penerimaan mahasiswa UGM 1994, namanya tercatat di Jurusan Sosiologi.
Masuk kampus impian tidak membuat Dhyta tunduk. Saat orientasi mahasiswa baru, dia menentang larangan pergantian kemeja orientasi studi dan perkenalan kampus. "Kasihan teman-teman muslim karena mereka salat harus dalam keadaan bersih," kata dia. Protes yang Dhyta galang berhasil mengubah aturan tersebut.
Pada hari terakhir orientasi, dia melanjutkan, mahasiswa baru diinstruksikan datang melihat pameran ilmiah di Gelanggang Mahasiswa. Di tengah jalan, ada sekumpulan mahasiswa tengah berorasi. Dia berbelok dan merasakan orasi pertama seumur hidupnya. "Waktu itu megafon digilir satu-satu, saya langsung maju dan menyebutkan kesalahan-kesalahan rezim Orde Baru," ujar Dhyta. Di bangku kuliah, Dhyta menyalurkan hasrat perlawanannya lewat komunitas diskusi Tegak Lima. Dia juga ikut dalam demonstrasi besar-besaran 1998.
Sebagai aktivis, Dhyta merasakan betul perbedaan represi masa Soeharto dengan sekarang. "Zaman Orba, pemerintah langsung mengatakan bahwa ini dilarang dan polisi bertindak jika itu dilanggar," kata dia. "Saat ini, polisi terkesan menekan pengelola gedung tempat acara dilaksanakan sehingga pengelola yang membubarkan acara."
Tekanan tidak langsung itu yang dia rasakan saat menggelar Festival Belok Kiri dan pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta. Menurut Dhyta, represi mungkin bakal menghadang. "Tapi gagasan tidak dapat dibungkam," kata dia.
DINI PRAMITA