TEMPO.CO, Jakarta - Februari 2016, seekor bayi lumba-lumba terpaksa meregang nyawa setelah diangkat dari laut dan diajak selfie atau swafoto bergantian oleh pengunjung sebuah pantai di Argentina. Satu bulan berselang, seekor angsa juga mati sia-sia setelah ditarik keluar dari Danau
Orchid di Macedonia oleh seorang turis asal Bulgaria, juga untuk diajak swafoto. Pekan lalu, seorang remaja tewas tersambar kereta setelah swafoto di atas rel. Kasus terakhir terjadi di negara kita, Indonesia.
Tiga kisah di atas hanya contoh terbaru, paling kekinian, dari sekian banyak contoh swafoto berbahaya--selalu memakan korban--yang telah menjadi berita utama sejak satu atau dua tahun lalu. Menurut riset perusahaan media Condé Nast, swafoto disimpulkan menjadi penyebab kematian yang lebih tinggi ketimbang serangan hiu.
Ya, demi mengejar foto keren untuk diunggah ke Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan lain-lain, banyak orang rela berfoto di pinggir tebing, di dekat kereta yang melaju kencang, bersama hewan langka, dan entah apa lagi yang mungkin belum terbayangkan.
“Ini semua tentang saya. Ini (aksi keren, eh berbahaya) menempatkan saya dalam bingkai. Saya mendapatkan perhatian dan ketika saya mengunggahnya ke media sosial, saya akan mendapatkan konfirmasi yang saya butuhkan dari orang lain bahwa saya mengagumkan,” analisis Jesse Fox, PhD, seperti dikutip dari artikel berjudul The Tragic Data Behind Selfie Fatalities (Data Tragis di Belakang Korban Jiwa Swafoto) yang dirilis akhir Januari 2016 oleh laman Priceonomics.
“Seseorang jadi tidak memikirkan konsekuensi dari tindakan yang dilakukan. Memang siapa, sih yang memusingkan jika saya menggelantung di Menara Eiffel?” lanjut wanita yang juga peneliti dunia daring asal Amerika.
Ketika kejadian serupa terus saja terjadi, dapat disimpulkan tragedi atau kesalahan terkait swafoto yang lebih dulu dilakukan orang lain tidak menjadi pelajaran. Ada semacam dorongan tidak tertahankan yang membuat banyak orang tetap melakukannya.
Awal bulan Maret 2016 di Filipina, gadis berusia 19 tahun jatuh dari gedung 20 lantai ketika melakukan swafoto. Dia meninggal seketika.
“Dia tidak puas dengan hasil foto yang kami ambil (untuknya),” kesaksian seorang teman sekelas korban kepada surat kabar setempat.
“Jadi dia memutuskan untuk memanjat dan mengambil sendiri (fotonya)”, imbuhnya.
Cerita lain, seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun di Rusia meninggal setelah swafoto di atas gedung apartemen 9 lantai. Salah satu alasan dia melakukannya karena dia kerap mendapat dukungan dari “penggemar” di media sosial.
Salah satunya menuliskan, “Terus lakukan hal-hal gila, Bro! Berikutnya, coba gedung pencakar langit. Semakin tinggi, semakin seksi”.
Maka seperti yang dikatakan Fox, kebanyakan aksi swafoto berbahaya didorong keinginan mendapatkan pengakuan rekan-rekan mereka di media sosial. Sehingga apa pun dibagi ke dunia maya, bahwa mereka punya mental pemberani.
Siapakah para “pemberani” ini?
Fenomena swafoto berbahaya, bagi kita yang tidak melakukannya, akan terasa konyol atau malah tidak masuk akal. Untuk apa juga menempatkan diri ke dalam risiko tinggi. Swafoto berbahaya yang dilakukan bahkan jauh dari kata keren. Terlebih jika sampai meregang nyawa atau malah menghilangkan nyawa makhluk lain.
Sebuah penelitian yang dilakukan tahun lalu mencoba mencari hubungan antara kepercayaan diri dan media sosial daring. Apakah unggahan kenarsisan di media sosial yang banyak mendapatkan “like” akan meningkatkan kepercayaan diri?
“Di satu sisi, orang-orang dengan tingkat kepercayaan diri tinggi, stabil, mungkin hanya ingin berbagi foto karena mereka tidak rentan kritik. Di sisi lain, orang-orang dengan kepercayaan diri yang rendah mungkin melakukannya dalam rangka promosi diri secara daring untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka,” tulis Agnieszka Sorokowska, penulis utama studi dari TU Dresden, Jerman. Posisi Anda di mana?