TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum maritim Amerika Serikat menyatakan insiden yang terjadi di perairan Natuna antara Indonesia dan Cina dua pekan lalu, bukanlah hal yang mengejutkan.
Pemerintah Cina telah lama mengakui kedaulatan Indonesia atas Natuna, tapi di sisi lain undang-undang perikanan mereka mengizinkan para nelayannya mencari ikan di wilayah yang secara unilateral ditandai sebagai sembilan titik di Laut Cina Selatan. Wilayah itu bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna.
Dalam insiden yang terjadi di perairan Natuna dua pekan lalu, kapal pengawas Indonesia mendapat gangguan dari kapal penjaga pantai Cina. Indonesia memprotes keras. Namun Kementerian Luar Negeri Cina, sambil menyatakan pemerintahnya mengakui Natuna sebagai milik Indonesia, menegaskan bahwa wilayah itu merupakan perairan perikanan tradisional Cina.
“Dengan mengakui Natuna sebagai wilayah kedaulatan Indonesia, Cina juga pasti tahu konsekuensinya bahwa 200 mil dari titik pulau terluar adalah ZEE Indonesia,” kata Peter Dutton, profesor kajian strategis dan Direktur Lembaga Kajian Maritim Cina di US Naval War College, dalam diskusi jarak jauh yang diselenggarakan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Rabu, 30 Maret 2016.
“Saya akan heran jika pemerintah Cina terkejut mengenai hal ini,” kata Dutton, ketika ditanya Tempo soal berita yang mengabarkan bahwa pejabat Beijing panik sesaat setelah mengetahui insiden tersebut pekan lalu. Dutton menegaskan klaim wilayah perairan perikanan tradisional tidak berdasar dalam hukum mana pun.
Dalam kasus ini, menurut Dutton, Cina seolah-olah menegaskan pengakuan kedaulatan Indonesia tapi sambil menyatakan bahwa meski demikian nelayan mereka boleh mencari ikan di situ.
Terkait dengan peran Indonesia, sebagai negara yang tidak bersengketa di Laut Cina Selatan, Indonesia seharusnya lebih terbuka menyatakan sikap. Tidak semata-mata mengandalkan diplomasi di balik layar. “Indonesia bisa menggalang persatuan di antara negara-negara di kawasan untuk patuh dan menegakkan hukum laut internasional,” kata Dutton.
Dutton menilai perubahan sikap Cina sekarang dari era 1995-2008, saat Cina secara agresif membangun pulau buatan di Kepulauan Spratly yang disengketakan. Meski demikian dia tidak mengharapkan atau memperkirakan sikap Cina tersebut bisa berujung pada perang terbuka di kawasan. “Ada banyak cara untuk menyelesaikan masalah secara damai,” katanya.
Adapun kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan, menurut Dutton, bisa mencegah adanya konflik terbuka. Selain itu, keberadaan angkatan laut Amerika, akan menjamin keterbukaan dan memastikan tidak ada kekuatan dominan di kawasan.
Terkait dengan pengadilan arbitrase yang membahas gugatan Filipina terhadap Cina yang saat ini digelar di Den Haag, Dutton memperkirakan keputusan yang akan dibacakan tidak semata-mata memenangkan Manila dengan mudah. Dia meramalkan keputusan pengadilan juga akan mempertimbangkan kepentingan Cina.
NATALIA SANTI