TEMPO.CO, Jakarta - Jakarta kian tak ramah bagi nelayan, judul berita di halaman Metro Koran Tempo edisi 14 April 2016. Koran itu mengutip data Dinas Kelautan yang menunjukkan jumlah nelayan turun dalam 4 tahun terakhir. Pada 2009, Dinas mencatat ada 12 ribu nelayan di pantai utara. Empat tahun kemudian, jumlahnya tinggal 6.937.
Tahun 2009-2013 merupakan tahun-tahun dimulainya reklamasi Teluk Jakarta. Tujuh perusahaan Agung Sedayu Grup dan Agung Podomoro mulai menimbun pulau A, B, C, D, dan G. Laut pun jadi dangkal. Nelayan kesulitan melaut karena harus berputar dengan ongkos solar kian banyak dan tempat tinggal mereka digusur, seperti di Pasar Ikan, Penjaringan.
Akibat rumah mereka digusur pada Senin lalu, ratusan penduduk kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, memilih tinggal di perahu kayu yang diparkir di Pelabuhan Sunda Kelapa.
BACA: 269 Keluarga Pasar Ikan Pindah ke Rumah Susun
Muhammad sudah dua malam tidur di tongkang kecil yang panjangnya tak lebih dari 10 meter. Ia berdesak-desakan dengan istri, dua anak, dan dua keluarga tetangganya berjumlah tujuh orang. Total sebelas orang hidup di perahu itu dan berhimpitan dengan barang-barang dari rumah mereka, seperti kulkas, peralatan dapur, dan lemari. "Ahok lupa sama nelayan," kata Muhammad, 31, kepada Tempo sambil memungut besi bekas sisa pondasi rumahnya, kemarin.
Muhammad menjadi nelayan sejak umur 12. Begitu pula ayah dan kakeknya. Tiga generasi melaut, tapi mereka tak kunjung punya uang untuk memiliki kapal sendiri. Tongkang, yang saat ini jadi rumah Muhammad, adalah milik seorang bos dari Kemayoran.
Rumahnya di RT 02/04. Lulusan SMP ini membayar pajak bumi dan bangunan senilai Rp 23 ribu untuk rumah dua lantai semi permanen dengan luas tiap lantai 5 x 4 meter.
BACA: Rumah Susun untuk Warga Gusuran Pasar Ikan Belum Siap
Lurah Penjaringan menilai, Muhammad berhak mendapat sebuah unit di Rumah Susun Rawa Bebek, Jakarta Timur. Tapi Muhammad menolak. "Kejauhan," katanya. Ia harus menjaga kapal itu agar tak terendam atau mesinnya dicuri. Gaji jaga kapal Rp 300 ribu sebulan. Bila melaut, keuntungannya harus dibagi 30:70 dengan pemilik kapal.
Ada sekitar 20 perahu tongkang di area itu. Satu perahu diisi 2-3 keluarga. Kebanyakan, kata Muhammad, absen melaut sejak sebulan terakhir karena khawatir digusur. Kini mereka hidup di atas laut tanpa akses air bersih. "Air buat masak beli jeriken. Kalau mandi di Mesjid Luar Batang," kata Acho Hidayat, salah satu nelayan.
Susana Melia, 14, sudah seminggu absen sekolah. Anak nelayan Pasar Ikan itu akan mengikuti ujian nasional SMP pertengahan Mei. "Mau sekolah susah, kepikiran rumah terus," katanya. Susana sekolah di SMP Al-Fatah, Pluit, Jakarta Utara.
Ibu Susana, Sri Rahayu, tak tahu sampai kapan akan tinggal di perahu. Tak ada uang untuk mengontrak rumah di Luar Batang, pemukiman di sekitar mesjid yang tak digusur, karena biayanya Rp 500-900 ribu per bulan.
BACA: Penggusuran Pasar Ikan Ricuh, Ahok Serahkan kepada Aparat
Wali Kota Jakarta Utara Rustam Effendi tak bisa berbuat banyak bila nelayan menolak tinggal di rumah susun. "Kami mau cari unit yang kosong di Muara Baru atau di Kapuk Muara untuk mereka," kata Rustam. Kedua rumah susun itu dekat laut sehingga bisa digunakan sekaligus untuk memarkir perahu.
Dari 1.728 keluarga yang digusur dari Pasar Ikan, 197 di antaranya nelayan. Sisanya memburuh dan berdagang. Camat Penjaringan Abdul Khalit mengatakan orang seperti Muhammad hanya beberapa. "Nelayan lain banyak, kok, yang mau tinggal di Rumah Susun Marunda," katanya.
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama berniat memindahkan nelayan dari pesisir Jakarta ke Kepulauan Seribu. Ia akan membangun rumah susun di sana. Di Kepulauan Seribu, kata dia, nelayan mudah mencari ikan dibanding di Teluk Jakarta yang sudah tercemar.
Muhammad menolak ide itu. "Di darat saja lupa sama kami, apalagi di pulau," katanya. Bukan tak mungkin Jakarta akan kehilangan nelayan.
INDRI MAULIDAR