TEMPO.CO, Yogyakarta - Pengunjung pameran segera disambut karya lukis berukuran jumbo ketika memasuki ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta. Perupa Maman Rahman dan Dwi Martono menyajikan citraan kerumunan figur pada karya lukis mereka. Tengoklah karya Maman Rahman berjudul Sangga Buwono. Lukisan berukuran 300 x 2.400 sentimeter terdiri atas lima panel itu berkisah tentang kerumunan orang-orang Yogyakarta di alun-alun nan luas.
Di antara mereka yang berdesakan itu, ada ibu yang menggendong anak, pedagang makanan, penjual jamu, dan orang yang bersepeda. Mereka mengerumuni pentas wayang. Ada orang-orang berbusana Jawa sedang memainkan gamelan. Ada pula citraan keraton yang dipenuhi orang.
Baca Juga:
Lukisan itu satu di antara lukisan dalam ukuran besar lainnya yang dipajang pada pameran seni rupa bertajuk “Memori di Taman Budaya Yogyakarta”, 14-23 April 2016. Pameran makin berkesan ramai dengan peran Suwarno Wisetrotomo dan Dwi Marianto sebagai kurator pameran. Selain dikenal sebagai kurator, dua dosen seni rupa ISI Yogyakarta bergelar doktor ini juga kondang sebagai pengamat seni rupa. Pameran ini disponsori Agung Tobing, pialang saham yang juga pedagang lukisan. Dialah yang membiayai penerbitan buku berjudul Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyat.
Maman menampilkan lukisan yang menggambarkan kerumunan orang dan penanda Keraton Yogyakarta. Ada citraan Sultan Yogyakarta, bedaya, ratu pantai selatan, bregada, dan abdi dalam. “Karya saya menggambarkan hiruk-pikuk masyarakat dan citra sultan,” kata Maman, Kamis malam 14 April 2016. Maman juga membuat karya instalasi dengan materi sabut kelapa. Ada penari panji topeng Cirebon, kuda kepang, wayang, penari Bali, dan atraksi barongsai.
Kerumunan figur juga muncul pada lukisan karya Dwi Martono. Dwi memberi judul lukisannya Tandu yang Kesekian Kali. Karya berbahan akrilik pada kanvas berukuran 280 x 2.280 sentimeter itu menggambarkan Panglima Besar Jenderal Soedirman bermantel panjang berdiri di dekat tandu berlatar hutan dan gunung. Di sekitarnya ada pemikul barang dengan punggung melengkung. Ada pula gerilyawan yang menodongkan senjata laras panjang kepada serdadu Belanda yang diikat di pohon.
Pada lukisan lain yang juga berukuran jumbo, Dwi menciptakan figur berkarakter Jawa saat beraktivitas dengan latar gunung, pepohonan, dan sungai. Di sekitarnya terdapat stupa mini Candi Borobudur, petani, dan tukang batu bertelanjang dada.
Kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo, mengatakan Maman dan Dwi mengembangkan imajinasi tentang peristiwa kesenian dan tradisi yang terus hidup dalam masyarakat. Mereka bicara tentang orang ramai. Orang ramai itu adalah kiasan tentang impian atau harapan, juga kiasan tentang kuasa. “Pada orang ramai, produk kesenian, pemikiran, dan kekuasaan mendapat legitimasi,” ujarnya.
SHINTA MAHARANI