TEMPO.CO, Yogyakarta - Seniman dari empat kota berkolaborasi membentuk komunitas yang membahas kritik sosial. Mereka memberi nama komunitas itu Saksinada. Deklarasi komunitas itu berlangsung di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, Ahad, 17 April 2016.
Empat musikus itu ialah Sisir Tanah, Dendang Kampungan, dan Agoni dari Yogyakarta; Deugalih dari Bandung, Fajar Merah dan Fitri Nganthi Wani dari Solo; dan Iksan Skuter dari Malang. Kelompok musik Agoni dan musikus Iksan Skuter bermain musik dalamn acara itu. Iksan menyanyikan lagu berjudul Kakek dan Cucu, yang berbicara tentang Salim Kancil, petani dan aktivis anti-tambang asal Lumajang, Jawa Timur, yang dibunuh.
Penggagas Saksinada, Bagus Dwi Danto, mengatakan musikus yang bergabung dalam Saksinada menyajikan musik bertema persoalan sosial, di antaranya ketimpangan ekonomi, pelanggaran hak asasi manusia, dan karut-marut politik. Di Yogyakarta ada banyak persoalan serius, misalnya proyek tambang pasir besi atau calon bandar udara di Kabupaten Kulon Progo.
Megaproyek itu membawa dampak sosial karena petani tidak bisa menggarap lahan produktif sebagai mata pencaharian mereka. Ada pula persoalan intoleransi, aturan pertanahan yang diskriminatif, dan maraknya pembangunan hotel yang mengganggu sumur penduduk. “Lewat musik secara universal, kami ingin menyumbangkan sesuatu untuk kehidupan yang lebih baik,” katanya.
Vokalis Sisir Tanah itu menyatakan komunitas ini terbuka bagi siapa pun yang ingin bermain musik bersama mereka. Saksinada akan bekerja sama dengan masyarakat di kawasan konflik. Misalnya memfasilitasi ibu-ibu di Rembang, Jawa Tengah, yang menolak proyek pabrik semen, untuk membuat lagu bersama.
Seniman Anti-Tank, Andrew Lumban Gaol, adalah pembuat logo Saksinada bergambar merpati warna merah. Gambar tangga nada ada di paruh burung itu. Merpati, menurut Andrew, menyimbolkan pembawa pesan perdamaian. Sedangkan tangga nada atau not melambangkan musikus. “Merpati yang membawa not itu membawa pesan kemanusiaan dan kebaikan, “ ucap Andrew.
Fitriani Dwi Kurniasih dari Dendang Kampungan mengatakan para seniman melibatkan AJI Yogyakarta dalam deklarasi karena jurnalis punya peran besar mendorong perubahan sosial. Itulah mengapa pers menjadi salah satu pilar demokrasi. AJI sebagai lembaga profesi jurnalis dinilai setia menyuarakan kepentingan publik. AJI juga konsisten menolak perilaku koruptif, yakni menolak amplop.”Kami merasakan punya perjuangan yang sama,” kata Fitriani.
Ketua AJI Yogyakarta Anang Zakaria mengatakan pers punya peran pendidikan, kontrol sosial, dan hiburan. Visi dan misi para seniman itu, menurut Anang cocok, dengan tugas utama pers. Semangat seniman yang berhimpun di Saksinada juga cocok dengan ide-ide AJI, yakni melawan kekuasaan dan kalangan yang anti-demokrasi.
AJI lahir ketika rezim Orde Baru, Soeharto, berkuasa. Waktu itu, tiga media, yakni Detik, Editor, dan Tempo, pada 21 Juni 1994, dibredel karena mengkritisi Soeharto. Perlawanan itu lalu mengkristal dalam pertemuan di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Dari pertemuan itu, AJI lahir. “Mengawal demokrasi perlu dukungan dari publik secara luas,” tutur Anang.
SHINTA MAHARANI