TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pantas menolak usulan mengenai polisi dan tentara aktif berhak menjadi peserta pemilihan kepala daerah tanpa harus mengundurkan diri dari jabatannya di TNI dan Kepolisian RI. Ketentuan ini akan bertolak belakang dengan Undang-Undang tentang TNI maupun Undang-Undang tentang Kepolisian RI.
"Wajar ditentang, revisi (aturan) ini bertentangan dengan Undang-Undang TNI dan Polri sendiri," kata peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, dalam diskusi publik di gedung Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 23 April 2016.
Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR Lukman Edy pada akhir Februari lalu, menyatakan tentara, polisi, pegawai negeri sipil, maupun pejabat negara lain tak perlu mundur dari jabatan ketika dicalonkan dalam pemilihan kepala daerah.
"Semua berhak menjadi kepala daerah,” kata Lukman di Bandung, 24 Februari 2016. Maksud dari adanya ketentuan itu, kata dia, membuka peluang sumber daya manusia dalam pencalonan. Dia mengutip isi Undang-Undang Dasar 1945 yang membolehkan semua warga negara untuk dipilih dan memilih. "Silakan bertarung di tengah masyarakat, jangan sampai dihambat."
Pemerintah dan DPR berencana merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Beberapa ketentuan yang hendak direvisi, antara lain mengenai calon independen serta calon berlatar belakang militer dan polisi.
Menurut Ikrar, tentara, polisi, dan pegawai negeri sipil di masa lalu dibatasi kelonggarannya berpolitik karena alasan khusus. "Mereka harus monoloyalitas, tak boleh dwifungsi. Tugas mereka hanya untuk pertahanan dan keamanan, itu jadi satu dari kebijakan-kebijakan reformasi 1998."
Ikrar menjelaskan, sejumlah pasal undang-undang internal TNI maupun Polri melarang anggotanya berpolitik. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur larangan prajurit terlibat dalam kegiatan politik praktis. Undang-Undang Polri Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia mengharuskan polisi netral dalam kehidupan politik dan tak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Tak hanya itu saja. Ikrar mengatakan Pasal 28 Undang-Undang Polri Nomor 8 Tahun 2002 jelas mencantumkan polisi dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mundur atau pensiun dari dinasnya.
Anggota Komisi Dalam Negeri Dalam Negeri Dewan Perwakilan Rakyat, Arteri Dahlan, mengatakan kelonggaran tersebut masih dibahas alot di DPR. "Kami terbuka pada masukan dan partisipasi publik, tentu memang ada kekhawatiran bila anggota polisi mendaftar tanpa perlu mundur dari jabatan, penjaringan jadi tak efektif," katanya.
Kata Arteri, DPR berpatokan pada aturan yang berlaku. "Kami kembalikan saja ke UU yang berlaku. TNI dan Polri punya aturan sendiri soal anggotanya yang ingin masuk elite politik."
DPR, kata Arteri, menghindari anggapan yang berat sebelah. "Nanti malah kami (DPR) yang diserang, dibilang anggota DPR boleh nyalon sambil cuti, tak perlu mundur, karena kami yang rancang UU Pilkada. Ini kan keliru," katanya.
YOHANES PASKALIS