TEMPO.CO, Yogyakarta - Gerakan masyarakat sipil Yogyakarta bersama-sama melontarkan tagar SaveJogja melalui media sosial sejak 5 Mei 2016 . Tagar tersebut merupakan bentuk respon atas kondisi di Yogyakarta yang rawan tindakan intoleransi.
“Ini seperti gerakan #SaveKPK, #SaveKendeng. Mengabarkan pada Indonesia tentang situasi yang buruk di Yogyakarta,” kata aktivis Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta (Makaryo) Tri Wahyu saat dihubungi Tempo, Jumat 6 Mei 2016.
Melalui #SaveJogja, mereka ingin menyelamatkan Yogyakarta dari kekerasan dan intoleransi serta mengembalikannya sebagai Kota Toleran yang pernah dideklarasikan pada 3 Maret 2011 lalu pada masa Walikota Yogyakarta Herry Zudianto. Berdasarkan data Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika ada 15 kasus intoleransi pada 2015.
Kemudian pada 2016 hingga Mei ini, menurut catatan Makaryo sudah ada empat kasus intoleransi di Yogyakarta. Kasus-kasus itu adalah pemaksaan penutupan Pondok Pesantren Waria “Al Fattah” oleh Front Jihad Islam (FJI) pada 24 Februari 2016, pembubaran acara Lady Fast 2016 di Garage Survive oleh polisi dan ormas pada 2 April 2016, serta pembubaran pemutaran film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta oleh Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri (FKPPI) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 27 April 2016 dan di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta oleh polisi dan FKPPI dan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) pada 3 Mei 2016.
Menurut Wahyu, apabila kondisi tersebut dibiarkan, maka predikat-predikat yang baik yang disandang Yogyakarta akan hilang. “Yogya akan jadi mantan Kota Pendidikan, mantan Kota Budaya, mantan Kota Toleran,” kata Wahyu.
Aktivis gerakan Warga Berdaya yang mengkritisi pembangunan di Yogyakarta, Dodo Putra Bangsa mengingatkan, Yogyakarta dari dulu telah menjadi tempat berkumpulnya manusia dari berbagai latar belakang budaya. Publik pun mengagumi budaya Yogyakarta yang ramah, menghargai dan menghormati perbedaan, juga tolong-menolong.
“Perbedaan itu sudah jalan beriring dengan asik di Yogya. Tapi sekarang dikotori dengan kasus-kasus itu,” kata Dodo yang aktif menyebarkan #SaveJogja dan sebelumnya aktif dengan #JogjaOraDidol dan #JogjaAsat .
Melalui #SaveJogja, Dodo mengajak publik untuk menyelamatkan Yogyakarta dari bencana akibat ulah manusia dengan menjaga tanah air dan budaya Yogyakarta. Seperti bencana akibat pemimpin daerah yang pro-pemodal sehingga membangun banyak hotel, maupun pemimpin daerah yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghadapi kelompok intoleran.
PITO AGUSTIN RUDIANA