TEMPO.CO, Jakarta - Tak ada senyum di wajah Asmawi, meski puluhan wartawan menyambutnya di halaman kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 12 Mei 2016 kemarin. Laki-laki 38 tahun dari Kampung Dadap, Tangerang, ini gontai berjalan ditemani dua pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Ia datang ke Komnas HAM hendak mengadukan perlakuan kasar polisi saat menggusur rumah dan permukimannya kemarin. Ada perban menempel di dahi Asmawi. Itu luka yang ia dapat saat kerusuhan penggusuran itu. “Ketika itu saya panik, susah napas. Pas jongkok, ada ledakan di dekat kepala," ujarnya seperti dikutip Koran Tempo edisi 13 Mei 2016. Ia pun dibawa ke rumah sakit dan mendapat delapan jahitan di kepalanya.
BACA: Alasan Tentara Terlibat Penggusuran di Jakarta
Tak hanya polisi yang datang ke Dadap. Ada juga tentara dan polisi pamong praja. Mereka datang atas perintah Bupati Ahmed Zaki Iskandar yang hendak menghancurkan lokasi prostitusi, kendati dicurigai penggusuran itu untuk memuluskan proyek reklamasi di sana.
Waisul Kurni, seorang pemuda Dadap, mengatakan Bupati mengundang orang Dadap dalam rapat sosialisasi dan koordinasi lokalisasi prostitusi pada 14 Maret lalu. “Kami kaget karena di sana sudah ada 500 orang polisi dan tentara,” katanya. “Kami takut, apalagi kami digeledah ketika masuk ruangan.”
Sepekan setelah pertemuan itu, penduduk diintimidasi lagi. Petugas yang mendata penduduk datang dikawal tentara, polisi, dan pamong praja. “Enam penduduk meninggal karena takut ketika rumah mereka didatangi tentara,” kata Waisul.
BACA: Ahok Menggusur Memakai Tentara, LBH Somasi Panglima TNI
Penduduk kian terteror karena setelah disurvei rumah mereka diberi tanda. Aparat datang berpatroli setiap malam. Jika ada penduduk berkumpul, intel-intel datang mendekat, juga bintara Pembina desa. “Bapak-bapak tidak tenang melaut, ibu-ibu tidak tenang bekerja," kata dia.
Tak hanya di Dadap, tentara dan polisi juga selalu ada di banyak tempat yang digusur. Seperti di kawasan Luar Batang, Jakarta Utara. Atau di Kampung Lauser, Kebayoran, Jakarta Selatan. “Saya bergetar ketika mereka datang ke sini,” kata Nurhaeni, 50 tahun, penduduk Lauser.
Seperti Dadap, orang Lauser juga melawan ketika petugas hendak menggusur. Mereka ramai-ramai menutup jalan masuk ke pemukimannya. Masyarakat ingin menghalau para polisi, tentara, dan satpol PP. "Anak-anak kami menangis saat melihat mereka," kata Haryadi, warga lainnya.
BACA: Tolak Penggusuran, Warga Lauser Tutup Jalan
Menurut Haryadi, anak-anak tak hanya menangis ada juga yang trauma tiap melihat polisi setelah penggusuran pada Ahad pekan lalu. Orang tuanya membawa ke rumah sakit untuk diperiksa. “Sekarang anaknya sudah pulang,” kata dia.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Nasional M. Imdadun Rahmat mengatakan polisi memang bisa terlibat penggusuran tapi harus dilihat sistuasinya. “Kalau untuk menyelesaikan masalah, lebih baik ditempuh dengan cara dialog. Bukan menurunkan personel terlampau banyak sehingga memunculkan kehawatiran, ketakutan, dan keresahan yang nanti timbul provokasi kekerasan," kata dia di kantornya.
Sedangkan tentara, kata Imdadun, sebetulnya tak boleh terlibat menggusur. Mereka bisa turun jika mendesak dengan batasan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial. Konflik sosial adalah kerusuhan antara warga negara yang status daruratnya ditetapkan kepala Negara atau daerah.
REZKI ALIVIONITASARI
Mencekam Unjuk Rasa Warga Dadap Berujung... oleh tempovideochannel