TEMPO.CO, Jakarta - Hasanudin masih mengenang kejadian 18 tahun silam. Suatu hari, seusai beres ujian nasional, ia yang bosan di sekolahnya SMP PGRI 27 Jakarta Timur mendengar adanya tawuran. Hasanudin yang kerap dipanggil Dede pun bergegas menuju kawasan itu bersama 30-an kawannya.
Di kawasan Klender itu, Dede melihat sekelompok siswa Sekolah Teknik Menengah (STM) tengah bentrok dengan sekumpulan siswa SMA. "Tak lama kemudian, ada suara provokasi, 'serbu saja Yogya, warga pada ke situ semua'," ujar Dede yang ditemui di rumahnya Kampung Jati Selatan, Jatinegara Kaum, Jakarta Timur, Sabtu 14 Mei 2016.
Setelah mendengar ajakan menjarah itu, warga berbondong-bondong masuk Yogya Plaza. Saat itu bangunan berlantai lima yang kini bernama Citra Mall Klender merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta Timur. Berbagai perlengkapan dan segala macam kebutuhan ada di sini. "Ada bioskop dan diskotek juga di lantai atas," kata Dede.
Dede yang saat itu berusia 15 tahun kaget setibanya di Yogya Plaza sekitar pukul 15.00 WIB. "Orang ramai-ramai mengambil barang. Ada yang memakai troli, ada yang naik-turun membawa kulkas dan televisi."
Dede kemudian ikut masuk dan melihat pemandangan yang mencengangkan. Orang tua, anak muda, perempuan dan lelaki masuk dan mengambil semua barang yang ada di dalam pusat perbelanjaan itu. Hampir semua kaca dinding pecah. "Mereka ngak peduli mau berdarah-darah masih ngambil barang," kata Dede.
Ia pun ikut mengambil kemeja lengan panjang yang berserakan.
Sambil mengamati ratusan orang yang lalu-lalang di plaza itu, Dede naik ke lantai tiga, di bagian supermarket. Ia tinggal berdua, temannya yang lain berpencar di gedung itu.
Setelah dua jam lebih berada di sana, Dede mendengar suara orang-orang berteriak ada asap. Ia juga mulai menyadari kebakaran, ruangan jadi gelap. "Orang-orang kalang kabut, ramai teriak minta tolong," ucap dia.
Dede sulit bergerak. Nafasnya tersengal-sengal. Sambil berteriak minta tolong, ia berdoa dalam hati. Ia bersyukur sempat minum es teh sebelum masuk Yogya Plaza. Mungkin itu yang membuatnya kuat di tengah asap dan api yang siap menjilat siapa saja di dalam bangunan itu.
Perlahan sandal jepit yang dikenakan Dede meleleh. Panas membekap seluruh ruangan di dalam sana. Beberapa orang dia lihat sudah meregang nyawa. Dede mengambil inisiatif menaiki punggung-punggung mayat yang sudah rebah itu."Saya mulai panik, stres. Takut kalau-kalau ada api," katanya.
Entah siapa, di tengah kepanikannya itu ada tangan yang menarik lengan Dede. Seperti dituntun, ia mengikuti orang itu hingga terlihat cahaya kecil di depan, dan terlihatlah jendela.
Dede hingga kini tak tahu siapa yang menyelamatkannya itu. "Saya juga ngak kenalan karena ngak keliatan muka, dia ngak ngomong juga," ucap dia. "Kalau ketemu orangnya, saya sujud."
Setiba di jendela, Dede mendapati banyak orang berusaha turun. Ada yang berani loncat, namun menderita karena kakinya patah atau tertusuk besi taman.
Tetangga Dede yang menyemut di bawah menyiapkan pertolongan. "Abang saya juga ada di sana dan mengambil tali jemuran agar saya turun," katanya. Dede bukan orang pertama menggunakan tali itu, melainkan enam orang lain. Ia baru turun bersama 'rombongan' kedua.
Secara berturut-turut ada dua orang, Dede, lalu seorang lagi memeluk tali itu. "Tetapi copot di tengah-tengah, talinya lepas. Kaki saya patah ditibanin orang," ujarnya. Dua orang yang ditindih oleh Dede meninggal.
Dede dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Di sana ia juga menemui banyak korban kebakaran Yogya Plaza. "Ramai, ada yang lukanya parah, ada yang menangis," ujarnya. Tangan kiri dekat sikunya mendapat sepuluh jahitan. Tulang pahanya dipasangi pen. Selama dua bulan Dede berada di rumah sakit. Biaya berobatnya memakai uang keluarga, senilai Rp 5 juta.
Dede butuh waktu untuk melepaskan bayang-bayang kerusuhan itu. Ia kemudian aktif di Ikatan Orang Hilang Indonesia (Ikohi) dan sempat menjadi penjaga kantin di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). "Sekarang trauma saya sudah hilang. Saya lawan dengan cara main ke rumah teman, ketawa-ketawa," katanya.
Dede beruntung selamat dari peristiwa kelam yang menewaskan ratusan orang itu. Seorang tetangganya, Agung Tri Purnawan salah satu yang hilang dari peristiwa itu. Murni Aryati, ibu Agung, hingga kini tak tahu di mana letak jasad anaknya dimakamkan jika benar ia tewas dalam peristiwa itu.
Tiap tahun Murni tak pernah lupa berziarah ke makam massal tragedi Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Selama ini Murni sering membawakan makanan untuk Dede yang sebaya dengan sang anak."Bu Murni suka bawain makanan, saya makan sambil diliatin," ujarnya.
REZKI ALVIONITASARI