TEMPO.CO, Sydney - Seorang profesor pemerhati dan pencinta Indonesia di Australia, Robert Cribb, menjadi satu dari 12 staf pengajar yang dipecat oleh pihak rektorat Australian National University (ANU).
Pemberhentian tersebut merupakan bagian dari restrukturisasi di School of Culture History and Language (CHL) yang berada di bawah payung ANU. Pemberhentian secara sepihak tersebut oleh pihak universitas menyisakan tanda tanya di benak Cribb yang selama ini peduli dalam setiap persoalan sosial di Indonesia.
Cribb, yang merupakan seorang peneliti dan pengajar di ANU, mengatakan dia belum mengetahui alasan dirinya dipecat dari universitas tersebut. "Saya belum diberikan alasan apa pun untuk pemecatan ini, selain pernyataan samar bahwa saya tidak cocok di sekolah baru," kata Cribb, seperti dilansir Woroni.au pada 21 Mei 2016.
Profesor yang telah menerbitkan puluhan buku tersebut adalah seorang pengajar yang memfokuskan diri untuk mempelajari Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia dan Myanmar. Tema penelitiannya adalah kekerasan dan kejahatan massal, identitas nasional, politik lingkungan, dan geografi sejarah.
Salah satu penelitian terkait dengan Indonesia yang paling menarik perhatian Cribb ketika dia membahas mengenai pembantaian massal terhadap pengikut Partai Komunis Indonesia 1965. Bahkan penelitiannya tersebut dibuatkan buku yang diberi judul The Origins of Massacre in Indonesia.
Selain itu, dia turut memperhatikan kelangsungan hutan Kalimantan, terutama terhadap kelestarian orang utan, serta masih banyak lagi buku-buku dan jurnal ilmiah yang berhubungan dengan lingkungan dan politik di Indonesia.
Selain Cribb, terdapat sebelas staf pengajar lain yang dipecat. Bahkan beberapa di antaranya merupakan profesor yang dikenal aktif menerbitkan buku dan jurnal penelitian yang berpengalaman, salah satunya Profesor C. John Powers.
Pihak ANU sendiri sebelumnya menjelaskan bahwa penutupan dan pengurangan staf tersebut merupakan bagian dari restrukturisasi dan kekurangan biaya operasional universitas. Namun ANU tidak menjelaskan kenapa fakultas tersebut dan 12 staf berpengalaman itu yang harus menjadi korban.
WORONI | YON DEMA