TEMPO.CO, Jakarta - Marseille merupakan kota yang memiliki tradisi sepak bola yang kuat. Kota ini pun menjadi salah satu tempat favorit untuk menghabiskan waktu. Sayangnya, di kota inilah bentrokan antar-suporter tim sepak bola, yang selalu bikin sakit kepala otoritas kota, sering terjadi.
Sejak Piala Eropa 2016 dimulai pada 10 Juni lalu, setidaknya sudah tiga kali terjadi bentrokan suporter yang berakhir buruk, terutama di daerah Vieux-Port yang dipenuhi cafe dan suporter. Puncaknya, asosiasi sepak bola Eropa mengancam mengeluarkan Inggris dan Rusia dari Piala Eropa jika para suporternya terlibat kerusuhan lagi.
Tradisi sepak bola memang mengakar kuat di Marseille sejak abad kesembilan belas,” kata Yvonne, kekasih Samuel Woodall, pria Inggris yang menjadi pemandu wisata lepas di Marseille. Dia mengaku sebagai fan berat Olympique de Marseille, satu-satunya klub sepak bola Prancis yang pernah menjuarai Liga Champions.
Menurut Yvonne dan Samuel, tradisi sepak bola di Marseille dibawa oleh para pelaut Inggris yang sering mampir di pelabuhan kota itu sejak beberapa abad lalu. Pada abad ke-19, Vieux-Port mengalami puncak kejayaannya sebagai pelabuhan yang paling ramai disinggahi di Eropa. Saat itu Marseille, yang dijuluki Gerbang ke Timur oleh para pelaut, menjadi pusat perdagangan dan transportasi laut.
Demi mengatasi rindu kampung halaman, orang Inggris yang mampir maupun menetap di Marseille memutuskan untuk membuat klub-klub olahraga kegemaran orang Inggris, seperti atletik, gimnastik, kriket, dan rugby, lalu kemudian sepak bola,” kata Samuel.
Sejak 1880 hingga Perang Dunia I, para awak kapal Inggris yang berlabuh di Vieux-Port menikmati waktu mereka dengan berlatih olahraga favoritnya di tepi pelabuhan. “Akhirnya para pegawai di perusahaan-perusahaan dagang yang berkantor di sekitar pelabuhan sering ikut main, kemudian membentuk tim mereka sendiri,” ujar Yvonne, mahasiswi jurusan sains politik di Universitas Aix-Marseille.
Popularitas sepak bola yang dibawa oleh para awak kapal Inggris menjalar hingga ke dalam Kota Marseille. Tak lama kemudian, sejumlah pelajar membentuk klub Marseillais Football Club. Mereka menantang para pelaut Inggris untuk bertanding.
Sepak bola kemudian mengakar di kota pesisir yang setiap tahun menjadi tempat berlabuh puluhan ribu kapal itu. “Kegemaran sepak bola kemudian tidak hanya menjadi milik eksklusif para awak kapal Inggris, tapi juga menjadi bagian dari identitas Kota Marseille hingga sekarang,” kata Samuel.
Para imigran dari berbagai kontinen yang membanjiri Marseille tidak mengubah kegemaran bermain sepak bola. “Sepak bola bahkan diadaptasi dengan mudah oleh para pendatang lain dan dianggap sebagai olahraga lokal,” Samuel menambahkan.
Bahkan, setelah berabad-abad terkenal sebagai tempat perlindungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan, wabah penyakit, dan kemiskinan, serta tempat penampungan para imigran dari Afrika dan magribi (Aljazair, Tunisia, serta Maroko), Marseille mempertahankan sepak bola sebagai identitas yang mudah diterima para pendatang yang kemudian beranak-cucu dan menjadi penduduk lokal.
“Pertemuan berbagai kelompok pendatang dari berbagai latar belakang budaya selama berabad-abad membuat penduduk Marseille menjadi kota multikultural yang diterima wajar oleh setiap kelompok,” kata Samuel.
Kini, di tengah reputasinya sebagai kota pelabuhan yang menjadi pusat penyelundupan dan pintu masuk para pendatang dari berbagai penjuru dunia, Marseille tetap menjadi magnet yang menarik bagi para suporter sepak bola dibanding Paris. “Warga Marseille sudah terbiasa dengan bentrokan budaya. Bentrokan antar-suporter bagi mereka hanyalah selingan,” tutur Yvonne.
Cafe-cafe yang berjejer di sekeliling Vieux-Port adalah lokasi populer bagi turis dan para suporter tim ketika ada pertandingan sepak bola. Cafe-cafe, apalagi yang menyediakan televisi layar lebar, semakin ramai oleh pengunjung yang jumlahnya membeludak hingga ke jalan jika ada pertandingan. Samuel dan Yvonne sepakat bahwa hal itulah yang membuat Marseille ditahbiskan sebagai tanah sepak bola. Tanah di mana sepak bola dianggap sebagai hal yang sakral.
ASMAYANI KUSRINI (MARSEILLE)