TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jendral Dewan Pengurus Pusat Posko Perjuangan Rakyat (POSPERA) Abdul Rahim Labuangsa mengatakan ada banyak dudut pandang keilmuan untuk menggambarkan kondisi relawan Teman Ahok saat ini.
Berdasarkan pandangan politik, ujarnya, relawan Teman Ahok dibaratkan balon yang ditiup, terlihat tampak besar tapi kosong. Oleh karena itu, menurutnya, Teman Ahok bukanlah kekuatan yang perlu diperhitungkan.
"Yang harus dicari tahu adalah siapa si peniup balon yang menjadi sutradara di balik teman Ahok," ujarnya di Kantor Dewan Pengurus Pusat POSPERA, Cipinang, Jakarta Timur, Sabtu, 25 Juni 2016.
Sementara, dari kacamata bisnis, menurut Rahim, Teman Ahok bukanlah relawan, melainkan Event Organizer yang memperkerjakan sekian banyak karyawan dengan sistem kontrak. Hal itu terbukti dan diakui oleh Teman Ahok bahwa relawannya diberi upah Rp 2,5 juta per bulan. "Maka teman Ahok sudah mendistorsi makna mulia dari kata relawan," ujarnya.
Sedangkan dari pandangan kriminologi, Rahim menilai hingga saat ini relawan Teman Ahok ternyata tidak bisa membuktikan banyak hal terkait dengan transparansi aliran dana yang masuk ke Teman Ahok dan pengumpulan KTP yang dilakukan dengan cara benar.
Menurut dia, hal tersebut bisa dikategorikan korupsi, money laundry, dan penipuan. "Kejahatan-kejahatan itu waktu kadaluwarsanya cukup lama jadi jika hari ini dugaan-dugaan itu belum bisa dibuktikan, aparat penegak hukum masih bisa terus melakukan pengusutan dan pengembangan kasus hingga 12 tahun kedepan," katanya.
Tidak hanya itu, Rahim menilai ada banyak kekerasan yang dilakukan oleh relawan Teman Ahok terhadap musuh politiknya. Salah satunya, kekerasan verbal yang paling banyak dilakukan oleh Teman Ahok terhadap siapa saja yang dinilai musuh politiknya. "Biasanya menggunakan sosial media sebagai alat politiknya," ucapnya.
Rahim mengatakan dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini, para pendukung Ahok telah melakukan ratusan ribu kekerasan verbal, dari caci maki hingga intimidasi. "Kami minta agar mereka menghentikan kekerasan tersebut," katanya.
Rahim mengkhawatirkan kekerasan-kekerasan verbal yang selama ini digunakan oleh para pendukung Ahok itu bisa menuai kekerasan fisik dari para korban kekerasan verbal yang selama ini di-bully oleh pendukung Ahok di media sosial. " Untuk itu kalau para pendukung Ahok benar-benar memperjuangkan demokrasi maka tidak mungkin membangun demokrasi di atas segala bentuk kekerasan," ujarnya.
Sebelumnya, lima eks Teman Ahok menggelar konferensi pers di depan puluhan wartawan di Kafe Dua Nyonya, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 22 Juni 2016. Mereka mengungkap dugaan manipulasi pengumpulan salinan KTP untuk mendukung Ahok.
"Kami bukan sakit hati, tapi makin hari pembohongan makin muncul. Saya terpanggil karena masyarakat disuguhi politik kebohongan," ujar Richard Sukarno, eks Teman Ahok, di Kafe Dua Nyonya, Cikini, Jakarta, Rabu, 22 Juni 2016. Selain itu, Richard mengatakan dalam pengumpulan KTP, relawan Tan Ahok juga diberi upah Rp 500 ribu setiap pekannya.
Salah satu pendiri relawan Teman Ahok, Singgih Widiatono menduga, konferensi pers yang dilakukan oleh lima mantan relawan Teman Ahok itu telah didesain oleh sebuah organisasi masyarakat dan politikus di Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun, saat ditanya siapa politikus itu, dia enggan membeberkannya. "Yang jelas, ormas tersebut terafiliasi dengan partai politik," katanya di Sekretariat Teman Ahok, Pejaten, Jakarta Selatan, Rabu, 22 Juni 2016.
ABDUL AZIS