TEMPO.CO, Surabaya - Anomali cuaca menyebabkan produksi garam nasional, khususnya Jawa Timur, tak maksimal. Gejala La Nina mengakibatkan hujan turun lebih banyak di wilayah Samudera Pasifik sebelah barat Australia dan Indonesia, yang mempengaruhi produksi garam. “Bulan Juni ini mestinya sudah mulai panen,” kata Direktur Pemasaran PT Garam Ali Mahdi kepada Tempo, Jumat, 1 Juli 2016.
Ia menjelaskan hujan yang membasahi beberapa wilayah sentra penghasil garam, membuat waktu produksi atau kristalisasi garam di ladang menjadi lebih pendek. Artinya, masa produksi dan panen garam mundur sekitar 2 bulan dari iklim normal.
Ali berharap cuaca mulai panas pada akhir Juli atau awal Agustus, agar garam dapat dipanen pada pertengahan Desember. “Tapi produksi nasional tahun ini kemungkinan kurang dari 1 juta ton,” ujar dia. Jawa Timur berkontribusi sekitar 70 persen terhadap produksi garam nasional.
Saat ini, PT Garam menggunakan stok atau sisa produksi tahun 2015, sekitar 8.500 ton dari total kontrak pembelian garam rakyat tahap pertama sebesar 17.500 ton. Ali memperkirakan, stok garam nasional sisa produksi tahun 2015 tinggal 10 persen atau berkisar 270 ribu-300 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan hingga akhir 2016.
PT Garam akan memperoleh Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 220 miliar tahun ini. Perinciannya, Rp 16 miliar untuk infrastruktur pergudangan dan Rp 2 miliar untuk operasional pergudangan. “Sisanya Rp 204 miliar untuk menyerap 400 ribu ton sebagai upaya stabilisasi harga,” kata Ali.
Masalahnya, menurut Ali, masa panen yang pendek akibat anomali cuaca mendongkrak harga pokok penjualan garam di tingkat petani. Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Timur Muhammad Hassan mengatakan harga jual garam kualitas (KW) II di gudang mencapai Rp 625 per kilogram, atau Rp 480-500 per kilogram di tingkat petani. “Kalau suplai sedang tinggi, harga garam anjlok sampai Rp 300 per kilogram.”
Karena itu, ia memperkirakan pemerintah bakal mengambil keputusan mengimpor garam untuk mencukupi kebutuhan nasional. Tapi, ia juga optimistis bahwa impor bisa dikurangi, bahkan mencapai swasembada bila ada ekspansi lahan.
Pada kondisi iklim normal, areal garam di Indonesia seluas 28.000 hektare, dan bisa memproduksi 2,7 juta ton. Mei lalu, PT Garam berupaya memperluas 400 hektare lahan produksi baru di pinggiran Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur. “Lahan seluas itu bisa memproduksi sekitar 36 ribu ton garam. Kita perlu ekstensifikasi lahan garam lebih luas lagi."
ARTIKA RACHMI FARMITA