TEMPO.CO, London - Belum reda dengan hasil referendum yang memenangkan opsi Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) , Inggris kembali diguncang dengan hasil penyelidikan tentang keputusan Perdana Menteri Tony Blair agar Inggris ikut dalam perang Irak tahun 2003. Hasil penyelidikan ini menyebut keputusan Blair itu keliru. Pengumuman Chilcot Report ini sudah lama ditunggu oleh keluarga pasukan Inggris yang tewas saat perang di Irak.
Ketua penyelidikan ihwal perang di Irak, Sir John Chilcot menjelaskan, perang di Irak yang terjadi pada 2003 lalu merupakan sebuah intervensi. Hingga saat ini, dampak perang tersebut tetap terasa, bahkan kondisi keamanan di sana terus memburuk. Chilcot telah mempelajari beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran untuk konflik ke depannya.
Dalam laporan Chilcot sepanjang 2.6 juta kata itu, tidak ada kesimpulan tegas apakah mantan PM Inggris Tony Blair telah melanggar hukum internasional. Namun, dalam laporan itu, Chilcot menggarisbawahi bahwa ada keputusan politik dan militer yang salah ketika mempersiapkan serangan ke Irak. Beberapa poin yang disampaikan Chilcot adalah sebagai berikut:
1. Komandan militer Amerika Serikat (AS) membuat sebuah “penilaian optimistik yang berlebihan” atas kapabilitas mereka. Hal ini telah mendorong mereka membuat “keputusan yang buruk”.
2. Hanya ada “sedikit waktu” untuk benar-benar mempersiapkan tiga pasukan militer untuk penyerbuan di Irak. Risikonya adalah tidak ada “indentifikasi yang layak ataupun sepenuhnya dipaparkan” kepada menteri, sehingga hasil yang diperoleh adalah “kurangnya alokasi peralatan”.
3. Keputusan invasi Irak dibuat berdasarkan penilaian intelijen yang cacat.
4. Blair melebih-lebihkan kemampuannya untuk mempengaruhi keputusan AS atas Irak dan hubungan Inggris dengan AS seharusnya tidak merupakan dukungan tak bersyarat.
Menurut Chilcot, aksi militer untuk melawan pemimpin Irak Saddam Hussein mungkin diperlukan atas dasar beberapa hal. Namun, ketika Inggris terlibat dalam invasi yang dipimpin AS pada Maret 2003 lalu itu, tidak ada ancaman nyata dari diktator Irak dan strategi sebelumnya yakni embargo dan pengekangan kekuatan Irak, masih dapat dilanjutkan. Strategi tersebut didukung oleh hampir seluruh anggota Dewan Keamanan PBB untuk melanjutkan inspeksi dan pemantauan PBB.
“Penilaian tentang beratnya ancaman senjata Irak dari pemusnah massal (WMD) disajikan dengan kepastian yang tidak dibenarkan. Meskipun peringatan dilakukan secara eksplisit, konsekuensi invasi tersebut diremehkan,” ujar Chilcot.
Selain itu, Chilcot menyebut bahwa Blair telah mengirim pasukan militer yang tidak siap untuk berperang. Lagipula, menurut Chilcot, invasi yang terjadi di Irak bukanlah “pilihan terakhir”, seperti yang disampaikan Blair kepada anggota parlemen dan publik.
Perdana Menteri David Cameron mengatakan kepada anggota parlemen, laporan Chilcot penting untuk dipelajari untuk meningkatkan kinerja pemerintah, serta dapat dijadikan sebagai nasihat yang legal.
“Mengirimkan pasukan ke medan perang tanpa dilengkapi dengan peralatan, tidak dapat diterima dan apa pun yang kita pelajari dari konflik tersebut, kita harus berjanji bahwa ini tidak akan pernah terjadi lagi,” kata Cameron.
Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn yang sejak awal tak setuju dengan aksi militer di Irak, mengatakan, laporan tersebut membuktikan bahwa perang Irak merupakan suatu tindakan agresi militer dengan alasan yang salah, sesuatu yang dianggap ilegal oleh opini internasional.
“Saya sungguh-sungguh minta maaf karena keputusan partai saya untuk pergi berperang,” kata Corbyn. Dia mendesak agar Inggris melakukan sesuatu untuk membawa kasus ini ke Pengadilan pidana internasional (International Criminal Court).
Juru bicara 179 keluarga pasukan dan warga sipil Inggris yang tewas di Irak pada 2003-2009 mengatakan, Chilcot Report membuktikan bahwa orang yang mereka cintai telah meninggal tanpa alasan yang kuat.
BBC | LANI DIANA |MR