TEMPO.CO, Yogyakarta - Jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah yang memasarkan produk furnitur berorientasi ekspor, yang menggunakan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), rendah. Aturan ihwal SVLK yang berubah-ubah membingungkan pelaku usaha furnitur.
Suryanto Sadiyo, Deputi Direktur Yayasan Java Learning Center atau Javlec Indonesia, organisasi non-pemerintah yang bekerja untuk menyelamatkan hutan Jawa menyebutkan di Daerah Istimewa Yogyakarta hanya 25 dari 150 anggota asosiasi berbasis furnitur yang telah memiliki SVLK. "Mereka tidak mau ribet dengan sistem SVLK," katanya dalam pelatihan bertajuk pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan Lembaga Ekolabel Indonesia di Hotel Jayakarta, Jumat, 22 Juli 2016.
Menurut dia, sebagian UMKM rata-rata meminjam SVLK. Sebab, mereka tidak mau repot mengurus SVLK dan lebih praktis. Untuk mengurus SVLK, menurut dia, perlu biaya yang tidak sedikit. SVLK berlaku selama enam tahun dan diaudit setiap dua tahun oleh lembaga sertifikasi.
Di Indonesia, total lembaga yang mengeluarkan SVLK sebanyak 22. Sedangkan jumlah total usaha yang sudah mengantongi SVLK di Indonesia ada 1.500 unit.
Ia mengatakan tidak semua usaha berbasis furnitur mengerti tentang SVLK. Perubahan aturan tentang SVLK juga membuat pelaku usaha kerepotan ketika hendak mengurus sertifikat.
Manajer Pengembangan Sistem Lembaga Ekolabel Indonesia Hayu Wibawa mengatakan kebijakan SVLK berganti-ganti selama tiga kali. Dia mencatat revisi aturan itu terjadi pada 2009, 2014, dan 2015. Dampaknya, standar dalam SVLK berubah.
SLVK, kata dia, bertujuan mempromosikan hutan lestari dan ramah lingkungan. Dampaknya adalah untuk mengatasi pembalakan liar dan perdagangan ilegal. SVLK juga bagian dari perbaikan tata kelola industri kehutanan. "Sayangnya, belum semua tahu tentang SVLK karena sosialisasinya kurang," ucapnya.
Menurut dia, Lembaga Ekolabel Indonesia bertugas sebagai lembaga akreditasi yang mengembangkan sistem ataupun standar pengelolaan hutan lestari sesuai dengan kondisi sosial. Lembaga ini mencatat, di Indonesia, kebanyakan kayu dimanfaatkan untuk industri pulp dan kertas. Ada pula industri furnitur. Biaya awal mengurus SVLK selama ini mengalami perubahan, yakni dari Rp 30 juta menjadi Rp 7 juta.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Timbul Raharjo mengatakan sebagian aturan tentang SVLK yang berubah-ubah merepotkan UMKM. Pemerintah, kata dia, juga belum banyak memberikan subsidi terhadap UMKM untuk mengurus SVLK. "Padahal semua kegiatan ekspor kayu wajib menggunakan SVLK," tuturnya. Timbul mengatakan, untuk mengurus SVLK melalui lembaga sertifikasi, ia perlu biaya Rp 25 juta. Sedangkan, untuk memperpanjang SVLK, ia perlu duit Rp 12 juta.
SHINTA MAHARANI