TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Willem Petrus Riwu mengatakan harga rokok di Indonesia saat ini sudah tergolong mahal. "Coba kita hitung dari PDB per kapita per hari, rokok kita masuk di 80 persen pengeluaran per hari," katanya pada Tempo, Selasa, 23 Agustus 2016.
Jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya, menurut Willem, harga rokok di Indonesia termasuk mahal jika dihitung dari pendapatan masyarakatnya. Kenaikan harga rokok hanya karena penilaian mahal atau murahnya pun dinilai tidak pas. "Tapi mahal murah itu relatif, tergantung kemampuan daya beli seseorang itu," ujarnya.
Pernyataan Willem merespons penilaian sejumlah pihak bahwa harga rokok di Indonesia terlalu murah dibandingkan negara-negara tetangga. Willem mencontohkan, Jepang, harga rokoknya dianggap paling murah karena dihitung berdasarkan pendapatan per kapitanya. “Artinya pendapatan orang Jepang tinggi dan harga rokok rendah jika dibandingkan pendapatannya," katanya.
Wacana besaran harga Rp 50 ribu per bungkus rokok berasal dari hasil hitung-hitungan penelitian profesor Hasbullah Thabrany, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Dalam penelitian berdasarkan hasil survei yang dirilis Juli 2016 itu disebutkan harga rokok yang ideal untuk mencegah pelajar dan orang miskin merokok adalah Rp 50 ribu per bungkus.
Pengumpulan data dilakukan sejak Desember 2015 sampai Januari 2016, dengan jumlah responden 1.000 orang. Hasilnya, 82 persen responden setuju harga rokok dinaikkan. Bahkan, 72 persen responden menyatakan setuju harga rokok dinaikkan menjadi di atas Rp 50 ribu, untuk mencegah pelajar merokok.
Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah Margo Yuwono menyebutkan keberadaan rokok kretek filter dinilai menjadi penyebab salah kemiskinan di Jawa Tengah setelah beras. Temuan itu berdasarkan survei profil kemiskinan BPS Jawa Tengah pada periode September 2015 hingga Maret 2016.
Lebih jauh, menurut Willem, harus ada kajian dan klarifikasi lebih jelas soal detail penelitian yang menyorongkan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus untuk menurunkan jumlah perokok. "Sampling-nya sudah benar belum?" ujarnya. "Kalau mau membuat statement, kuatkan dulu alasannya."
Willem menyatakan, Kementerian Perindustrian mendorong agar pabrik rokok berkembang sesuai peraturan yang berlaku. "Sudah ada undang-undangnya, izin usaha, biaya cukai, ini bukan hal yang ilegal," ujarnya. "Kalau kita mau ubah aturan, silakan saja. Tapi jangan dibuat gaduh.”
CHITRA PARAMAESTI | ANTARA | RR ARIYANI