TEMPO.CO, Jakarta - Analis intelijen Connie Rahakundini mengatakan jabatan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) lebih tepat diberikan kepada orang berlatar belakang militer.
Menurut Connie, pendekatan intelijen militer bekerja untuk mendeteksi adanya ancaman. Hal itu berbeda dengan intelijen kepolisian yang bekerja saat suatu peristiwa sudah terjadi untuk mencari pembuktian. "Intelijen kepolisian lebih kepada investigasi setelah kejadian. BIN harus sebelumnya," ujarnya dalam diskusi “Ini Dia Kepala BIN Baru” di Menteng, Jakarta, Sabtu, 3 September 2016.
Baca:
Presiden Resmi Usulkan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN
Budi Gunawan Kepala BIN, Kontras: Keputusan Kontroversial
Selain itu, BIN dituntut mampu mengamankan posisi Indonesia di kawasan ASEAN. Terlebih, Indonesia ingin menjadi poros maritim. Hal ini bisa saja akan memicu respons dari negara lain. "Cara meng-counter-nya secara politik, ekonomi, dan ideologi harus dilakukan. Tugas yang begitu besar, perlu dukungan militer," ucapnya.
Wakil Ketua Komisi Intelijen Dewan Perwakilan Rakyat, Meutya Hafid, mengatakan pemerintah harus menghapuskan dikotomi militer dan polisi dalam urusan penunjukan Kepala BIN. "Kecakapannya yang lebih perlu ditingkatkan ketimbang ini orang militer atau polisi," ucapnya.
Ia menuturkan BIN memiliki fungsi sebagai koordinator dari lembaga-lembaga negara yang memiliki fungsi intelijen. Badan Intelijen Strategis yang ada di TNI ataupun intelijen di kepolisian harus dalam satu atap koordinasi dengan BIN. "Nanti yang memiliki keahlian di tentara ya koordinasi dengan Bais," kata Meutya.
Baca :
Jadi Calon Kepala BIN, Ini Saran DPR untuk Budi Gunawan
Perampokan Di Pondok Indah, Pembantu Berhasil Kabur
Peran koordinator ini, dirasa Meutya, akan menutup polemik yang berkembang soal kepantasan polisi memimpin BIN.
Presiden telah mencalonkan Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kepala BIN. Surat usulan tersebut telah disampaikan kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti.
AHMAD FAIZ