TEMPO.CO, Jakarta - Tukul Arwana terlihat tegar saat ditemui, dua hari setelah kepergian istrinya yang biasa ia panggil dengan Susi Similikiti. Pria kelahiran Semarang, 16 Oktober, ini enggan berlarut dalam duka.
“Ini bukan masa berduka. Dia bertemu dengan penciptanya. Kita harus mengikhlaskan. Kalau bilang berduka, nanti berduka terus. Kita harus melihat ke depan. Ada anak-anak yang harus dibimbing, diarahkan,” kata Tukul yang ditinggalkan Susi dengan dua anak kandung, Novita Eka Afriana (17) dan Wahyu Jovan Utama (7), serta satu anak angkat bernama Ega yang berprofesi polisi.
Tukul lebih memilih mengenang hari-hari indah yang dilaluinya bersama Susi. Terkadang membuat lelucon kejadian-kejadian di masa lalunya bersama Susi, hingga membuat kami yang mendengarkan penuturannya ikut tertawa.
“Susi itu sangat rajin. Dari dulu sampai saat terakhirnya, setiap pagi, ya pasti beres-beres, menyiapkan makanan, keperluan anak-anak, baru pergi. Selasa, 23 Agustus itu dia masak telur dadar, kangkung, pokoknya masakan kesukaan saya. Senin, 22 Agustus, saya masih ingat, dia membuatkan saya nasi goreng. Diambilkannya nasi goreng untuk saya, terus saya sendiri yang goreng telur mata sapinya,” kenang Tukul.
Tak ada firasat apa-apa tentang kepergian Susi. “Seperti biasanya saja. Ceria, banyak aktivitas. Dia enggak bisa diam. Selalu aktif. Kadang ingin mengingatkan, tapi ya itu hiburan dia juga bersosialisasi, jadi saya biarkan. Saya selalu memerdekakan siapa saja. Burung saja saya merdekakan,” ujar Tukul.
Selasa pagi itu sambil sarapan, Tukul masih ingat, ia dan Susi tengah membicarakan sekolah Jovan.
“Saya dan Susi ini sebenarnya ingin anak bungsu kami, Jovan, bersekolah di sekolah keagamaan. Inginnya di Muhammadiyah, Gandaria. Saya merasa, kalau dari kecil sudah berbekal agama baik, hidupnya akan memiliki kontrol. Kalau pintar tapi enggak memiliki sikap hidup yang benar, ya percuma. Kami lagi memusyawarahkan hal ini,” bilang Tukul.
Lalu, Susi menyarankan, harapan mereka didiskusikan juga dengan Jovan. “Kita tanyakan dulu kepada anak kita, Mas. Kita, kan juga enggak bisa memaksa. Kalau anak kita masih mau bersekolah di sekolah yang sekarang ini, ya sudah biarkan saja. Tapi kalau Jovan setuju, maka kita upayakan, Mas, pindah ke Muhammadiyah,” Tukul mengulang ucapan Susi.
Itulah isi perbincangan terakhir mereka. Tukul sama sekali tak merasa ada sinyal perpisahan. Sore harinya, saat tiba di rumah, walau katanya lelah, Susi juga tak menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan.
“Itu karena saya, Anda, atau siapa pun enggak ada yang tahu kapan dipanggil Allah. Coba kalau Anda sudah diberi tahu dahulu, kalau Anda mau meninggal, apa Anda enggak panik? Enggak ngeri? Kayak apa hebohnya. Memangnya mau?” canda Tukul.