TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat komunikasi massa, Agus Sudibyo mengatakan langkah pemerintah untuk memaksa Google Indonesia membayar pajak sudah tepat dan patut didukung. Meskipun sudah terlambat, dia menilai langkah ini perlu diapresiasi.
Sebab, menurut Agus, jika Google tidak membayar pajak, sementara semua media nasional membayar pajak, akan menimbulkan ketidakadilan dan iklim berusaha yang timpang di bidang media dan informasi.
"Karena sebenarnya entitasnya sama, korporasi media," ucapnya dalam keterangan tertulis Ahad, 18 September 2016.
Baca Juga:
Agus mengatakan, tanpa adanya pajak untuk Google dan perusahaan over the top (OTT) lainnya, akan menyulitkan media nasional, cetak, TV, radio maupun online untuk bersaing. Padahal, pertumbuhan pendapatan Google, Facebook, Yahoo misalnya, sangat signifikan dan terus mereduksi pendapatan media nasional.
Agus menambahkan, mereka tidak dibebani pajak sehingga bisa mengambil margin keuntungan lebih besar dan menerapkan tarif iklan lebih rendah."Langkah penerapan pajak untuk perusahaan OTT adalah instrumen penting untuk melindungi kepentingan media nasional."
Baca Juga: Google Tolak Bayar Pajak, Rudiantara Masih Tunggu Kemenkeu
Agus menjelaskan pajak untuk perusahaan OTT juga penting untuk menjaga kedaulatan fiskal, karena menyangkut potensi pendapatan pajak dalam jumlah yang besar. "Hal ini mengulangi apa yang telah terjadi di Eropa," ujar Agus.
Google juga digugat beberapa negara, karena skandal yang disebut double irish with a dutch sandwich. Skandal itu adalah praktek peralihan kewajiban bayar pajak lintas negara bahkan lintas negara yang bermuara di negara surga pajak seperti segitiga Bermuda. "Praktek semacam ini harus segera ditangani pemerintah, tanpa bermaksud memusuhi Google dan lain lain," ucap Agus.
Secara general, dia tak menampik jika Google, Facebook, dan perusahaan OTT lain telah memberikan banyak manfaatnya bagi masyarakat. Namun di satu sisi, menurut Agus, sebagai korporasi media, mereka tetap harus diperlakukan sama dengan korporasi media pada umumnya.
Google juga digugat beberapa negara, karena skandal yang disebut double irish with a dutch sandwich. Skandal itu adalah praktek peralihan kewajiban bayar pajak lintas negara bahkan lintas negara yang bermuara di negara surga pajak seperti segitiga Bermuda.
"Praktek semacam ini harus segera ditangani pemerintah, tanpa bermaksud memusuhi Google dan lain lain," kata Agus lagi.
Simak Pula: Rudiantara: Penarikan Pajak Google di RI Sulit Dilakukan
Secara general, dia tak menampik jika Google, Facebook, dan perusahaan OTT lain telah memberikan banyak manfaatnya bagi masyarakat. Namun di satu sisi, Agus mengatakan, sebagai korporasi media, mereka tetap harus diperlakukan sama dengan korporasi media pada umumnya.
Sebelumnya, Google Indonesia menolak menjadi wajib pajak Indonesia dengan alasan perusahaan itu hanya kepanjangan tangan dari Google Asia Pasific yang berkantor di Singapura.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan Google harus tetap membayar pajak. Siapa pun yang berbisnis di Indonesia harus membayar pajak karena statusnya subyek kepada pajak.
Meski begitu, Rudiantara mengatakan pihaknya masih harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan mengenai perpajakan yang melibatkan Google tersebut. "Saya masih akan berkoordinasi dulu dengan Kementerian Keuangan mengenai perpajakannya," katanya di Balai Kota, Sabtu, 17 September 2016.
Baca: Pemerintah Kaji Aturan Pajak bagi Google Cs dan E-Commerce
Namun Rudiantara sampai saat ini belum mengetahui sudah sejauh mana komunikasi antara Direktorat Jenderal Pajak dan pihak Google. Pasalnya, kata dia, masih ada kerancuan terkait dengan keberadaan perusahaan Google di Indonesia.
"Google mana dulu? Indonesia atau Singapura? Karena, sepengetahuan kami, yang berbisnis yang pasang iklan di Google, itu bukan Google Indonesia gitu lho, melainkan Google Singapura," ujarnya.
GHOIDA RAHMAH