TEMPO.CO, Jakarta - Crawler crane telah menjulang tinggi di satu sisi bangunan bekas gedung Bank Panin di Distrik Bisnis Sektor VII Bintaro Jaya, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Selasa lalu. Kawat-kawat bajanya tegang terikat ke beberapa titik tak jauh dari jaring dan parit yang melingkari gedung.
Rencananya, inilah pekan terakhir gedung yang dibiarkan mangkrak sejak 2000 itu berdiri utuh di atas tanah. Mulai nanti malam, upaya merobohkan gedung setinggi 21 lantai itu akan kembali dimulai. Upaya pertama menyebabkan sebagian dari dua lantai teratas dan beberapa di bagian muka ambruk tak terkendali pada 2 Juni lalu.
"Alat berat dan parit sedalam 2 meter dan lebar 1,5 meter untuk meredam getaran telah siap,” kata Ari Yudhanto, project manager PT Wahana Infonusa, perusahaan yang menjadi kontraktor pembongkaran gedung itu, Selasa lalu.
Hari itu, Ari dan timnya sedang memasang jaring pengaman tambahan dari lantai 6 sampai 19. Jaring tersebut akan menangkap puing agar tidak jatuh tersebar. Selain itu, instalasi pompa akan disiapkan untuk mengurangi debu. “Kami juga mempelajari kekuatan angin dan curah hujan agar tak menjadi penghambat,” kata dia, menambahkan.
Anggota Tim Ahli Bangunan dan Gedung Kota Tangerang Selatan, Tateng Djajasudarma, mengatakan pembongkaran kali ini akan menjadi yang pertama di Indonesia yang tertib secara perizinan. Menurut dia, di Indonesia, gedung yang sudah tidak dipakai atau tidak lagi layak huni biasanya akan dirobohkan atau dibiarkan roboh begitu saja.
“(Perobohan) Gedung Panin ini izinnya sudah lengkap dari Pemerintah Kota Tangerang Selatan," kata Tateng.
Tateng, yang juga konsultan di Wiratman Architecture, mengatakan teknik yang akan digunakan adalah penghancuran dengan bola beton (wrecking ball) seberat 2 ton. Itu sebabnya, telah terpancang crawler crane sebagai penopang bandul. “Perobohan bisa memakan waktu sampai tiga bulan, tapi dipastikan paling aman.”
Chaidir Anwar Makarim, anggota TABG lainnya, menyatakan metode bola beton ini tergolong sederhana. Cara ini juga ia anggap paling pas untuk gedung Panin Bintaro.
Chaidir membandingkannya dengan teknik ledakan (blasting) menggunakan dinamit, teknik yang menjadi spesialisasi guru besar di Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara ini. “Kalau saja medannya luas dan kosong, paling enak menggunakan blasting karena hanya sekali ledakan, setelah itu puingnya tinggal diangkut ke truk,” kata dia, ketika ditemui di Jakarta, Jumat lalu.
Namun, Chaidir menambahkan, teknik ledakan membutuhkan waktu penelitian ataupun perancangan yang lebih lama demi kehati-hatian. Sebab, di sekitar gedung Panin, terdapat gedung bertingkat selain rumah sakit dan stasiun pengisian bahan bakar umum.
“Di rumah sakit, ada alat-alat medis yang tentunya sangat sensitif terhadap getaran,” kata Chaidir, sambil menambahkan, “Untuk meledakkan gedung 21 lantai, diperlukan peledak yang kuat.”
Chaidir mengaku sudah 25 tahun berkecimpung dalam praktek dan penelitian ledakan terhadap tanah ataupun batuan. Ia mengukur untuk mencari efek rusak dan cara meredam setiap ledakan itu. “Kalau untuk kasus gedung Panin, jika menggunakan metode blasting, efeknya akan buruk bagi lingkungan sekitar,” kata dia, menyimpulkan.
Zaim Susilo, perwakilan dari Panin Bank, mengatakan pihaknya mendukung dengan mensosialisasi hal ini kepada masyarakat sekitar. “Kami maunya proses ini cepat selesai secara aman,” katanya.
Kepastian proses pembongkaran berjalan aman dibutuhkan pula oleh Asep , 63 tahun, warga Tegal Rotan RT 02 RW 08, Sawah Baru, Ciputat, tepat di belakang gedung itu. Saat pembongkaran pada Juni lalu, debu dari bagian gedung yang ambruk memenuhi rumah dan warungnya. “Yang saya takut puingnya nanti jatuh ke mana,” kata dia.
MUHAMMAD KURNIANTO