TEMPO.CO, Jakarta - Robohnya jembatan penyeberangan orang di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada akhir September lalu menguak pelbagai masalah dalam mengelola reklame di Jakarta. Jembatan itu roboh diduga karena pemasangan baliho tak sesuai aturan dan pemerintah tak segera menurunkannya.
Ketika roboh, reklame itu kosong. Gambar iklannya dibalik dan hanya menerakan nomor telepon perusahaan pemegang hak tayang. Kontrak iklan tersebut berakhir pada 2010. “Harusnya perusahaan membongkarnya,” kata Novel Krishna, staf Bidang Pengendalian dan Pembinaan Kinerja Pajak Daerah Dinas Pelayanan Pajak, seperti dikutip Koran Tempo edisi 5 Oktober 2016.
Novel menyitir Peraturan Gubernur Nomor 244 Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame. Dalam aturan itu juga, kata Novel, pengusaha bertanggung jawab dan menanggung segala risiko jika terjadi kecelakaan, seperti kejadian di Pasar Minggu. “Pengusaha berkewajiban memastikan dan memberi jaminan konstruksi reklame kuat dan kokoh,” ujarnya.
BACA: Ini Penyebab Jembatan Pasar Minggu Roboh
Saat ini ada 68 papan reklame di jembatan penyeberangan di seluruh Jakarta yang sudah habis masa kontraknya tapi masih menempel. Dinas Perhubungan juga menemukan bahwa dimensi reklame-reklame ukuran besar itu tak sesuai spesifikasi yang diatur pemerintah.
Jembatan Pasar Minggu roboh akibat konstruksinya tak kuat menopang angin saat hujan akibat tertahan papan reklame di sekujur badannya. Peristiwa itu menewaskan empat pengguna jalan, salah satunya gadis 18 tahun.
Pengusaha reklame menolak pernyataan Novel Krishna. Menurut Ketua Serikat Pengusaha Reklame Jakarta Didi Oerip Affandi, tanggung jawab pembongkaran reklame kedaluwarsa justru harus dilakukan pemerintah.
VIDEO: Jembatan Penyeberangan Pasar Minggu Roboh
Soalnya, kata Didi, pengusaha sudah membayar jaminan bongkar kepada pemerintah ketika izin menayangkan iklan terbit. Jaminan ini dibayar pengusaha beriringan dengan pembayaran pajak reklame di Dinas Pelayanan Pajak. “Kami sudah bayar jasa bongkar, kok,” tuturnya.
Nilai cukup besar. Pasal 9 Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame menyebutkan pengusaha atau biro reklame bisa mendapat izin penyelenggaraan reklame apabila membayar biaya jaminan bongkar sebesar 15 persen dari jumlah pajak reklame terutang. “Bayarnya sekali saja,” ucap Didi.
Jika pengusaha mendapat izin memasang reklame sebesar 6 x 18 dan pajaknya sekitar Rp 100 juta, Didi mengatakan, uang jaminan bongkarnya sebesar Rp 15 juta. “Reklame ini di Jakarta ada ratusan, kalikan saja itu uang jaminan besarnya berapa,” katanya.
Didi juga mempertanyakan uang jaminan bongkar tersebut karena tak dipakai pemerintah menurunkan iklan yang habis masa kontraknya. Ia mendapat informasi bahwa uang jaminan bongkar ini tak masuk ke kas daerah. Sebab, yang ia ketahui, pembongkaran reklame menggunakan dana lain yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setiap tahun. “Ini yang kami cari tahu, buat apa uang itu?” ujar Didi.
BACA: Ahok Akan Audit Pembangunan Jembatan Pasar Minggu yang Roboh
Novel menyangkal tuduhan tersebut. Ia mengatakan uang jaminan bongkar masuk kas daerah melalui pos dana penerimaan lain-lain. Ia menjelaskan, besarnya uang jaminan jasa bongkar prakteknya tak sebesar 15 persen dari nilai pajak, melainkan Rp 5.000 per meter persegi. “Semua masuk kas daerah,” katanya.
Ia mengatakan dana jaminan bongkar yang dibebankan kepada pengusaha sudah dihapus sejak 2014. Hal tersebut termaktub dalam aturan terbaru tentang penyelenggaraan reklame.
Namun Didi membantahnya. “Itu kan aturan baru, reklame ilegal ini sudah lama terpasang,” tutur Didi merujuk reklame Pasar Minggu.
ERWAN HERMAWAN