TEMPO.CO, Bandung - Kepala Seksi Kemitraan Luar Negeri Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Diah Parahita, mengatakan Pemerintah bersama Bank Dunia tengah menyiapkan program pembiayaan bagi kepemilikan rumah bagi pekerja sektor informal.
“Programya bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan,” kata Diah selepas pertemuan soal itu bersama Sekretaris Daerah Jawa Barat di Gedung Sate, Bandung, Kamis, 6 Oktober 2016.
Diah mengatakan, program pembiayaan ini melengkapi program sejenis, yakni Faslitas Likuditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang sudah berjalan sejak 2009 hingga saat ini. Lewat program itu, Pemerintah memberi subsidi kepemilikan rumah bagi pekerja dengan penghasilan maksimal Rp 4,5 juta untuk kepemilikan rumah tapak dan Rp 7 juta untuk rumah susun dengan harga properti maksimal Rp 200 juta. “Tapi ini untuk mereka yang formal income,” kata dia.
Menurut Diah, studi Bank Dunia mendapati 46 persen pekerja itu tidak bisa mengakses perbankan karena tidak memiliki penghasilan tetap. Skema pembiayaan perumahan berbasis tabungan ini dirancang untuk kelompok pekerja tersebut. “Mereka tidak punya akses ke bank karena tidak punya slip gaji, dan ketika dilakukan checking kredit, tidak akan lolos,” imbuhnya.
Diah mengatakan Bank Dunia menyiapkan pendanaannya lewat program mereka, National Affordable Housing Programme. Dalam program itu, Bank Dunia menyiapkan pendanaan hingga US$ 215 juta untuk subsidi pembiayaan perumahan berbasis tabungan, serta US$ 215 juta untuk bantuan stimulan perumahan swadaya, selain pendanaan technical assistance untuk reformasi kebijakan sektor perumahan.
Rancangan skema pembiayaannya dengan memberikan subsidi hingga 25 persen dari harga rumah. Kelayakan penerima bantuan pembiayaan ini dengan pembuktian memiliki tabungan setara 5 persen harga rumah dengan dukungan histori transaksi di bank selama minimal 6 bulan. Program ini khusus ditujukan bagi kepemilikan rumah pertama calon penerima bantuan. “Kemudian assistance ini akan masuk lewat APBN ini adalah 25 persen (harga rumah), sisanya 75 persen itu KPR dari si bank,” ujar Diah.
Diah menuturkan besarnya persentase KPR perbankan itu bergantung pada besar kecilnya penghasilan yang diterima pekerja informal. Batas maksimal penghasilan total pekerja itu Rp 6,1 juta sebulan. “Semakin rendah penghasilannya, maka semakin tinggi assistance itu tergantung zonanya. Kalau Jawa Barat itu bisa sampai Rp 30 jutaan. Berapa nanti dia mencicil, tergantung ini,” paparnya.
Menurut Diah, masih banyak yang tengah dipersiapkan untuk program ini, seperti menjajaki kemungkinan penghapusan PPN transaksi rumah pada Kementerian Keuangan, hingga mengkaji batasan harga rumah maksimal yang bisa dibiayai lewat program ini.
Diah menambahkan, Pemerintah menargetkan program ini bisa dimulai pada 2017. “Kita sedang proses produk desainnya karena masih banyak yang harus dibahas, dan direncanakan bisa dimulai sekitar 2017, selama tiga tahun sampai 2019,” kata dia.
Menurut Diah, sudah ada lima bank yang menyatakan ketertarikannya dan tengah mengikuti proses pembahasan rancangan program ini. Lima bank itu adalah BRI, Bank BJB, BTN, Bank Artha Graha, dan Bank Jateng. “Lima bank yang sudah menyatakan minatnya, tapi akan diverifikasi lagi kemampuan perbankan itu,” imbuhnya.
Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa mengatakan, Pemerintah daerah diminta untuk mendukung program ini, di antaranya membantu melakukan verifikasi calon penerima bantuan, hingga pengaturan ruang untuk program perumahan yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah. “Dukungan pengurusan IMB, sertifikat, dan pengurusan lainnya termasuk jalan akses dan fasiltas listriknya, untuk mendorong program sejuta rumah Presiden Joko Widodo,” ungkapnya selepas pertemuan itu, Kamis, 6 Oktober 2016.
Iwa meminta program pembiayaan ini bisa secepatnya dilaksanakan di Jawa Barat untuk menekan proporsi backlog rumah yang ada. “Kita akan coba mana yang paling siap, kita ingin cepat, mana yang lebih cepat dari sisi pemdanya,” kata dia.
Dia mengaku tengah menjajaki kemungkinan skema pembiayaan ini untuk pendanaan rumah susun di Kota Bandung dan Banjar yang masing-masing sudah menyiapkan lahan pemerintah daerah untuk program rumah susun murah dengan kepemilikan model strata title. “Dengan demikian, masyarakat berpenghasilan rendah bisa mendapatkan bantuan langsung dari Pemerintah untuk kepemilikan rumah, tinggal 75 persennya itu yang dia cicil,” ujar Iwa.
Iwa mengatakan, Kota Bandung misalnya menyiapkan program itu di atas dua lahan milik Pemkot di Cingised dan Darwati. Selain itu, Kota Banjar punya rencana yang sama dan sudah menyiapkan lahan Pemkot untuk membangun rumah susun.
AHMAD FIKRI