TEMPO.CO, Yogyakarta - Apa yang terjadi ketika instruktur senam dan penari tampil sepanggung? Di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, instruktur senam dan puluhan penari tumplek (menjadi satu) berkolaborasi menyuguhkan pertunjukan yang memamerkan kekuatan otot sekaligus mengeksplorasi keindahan gerak tubuh.
Mereka tampil dalam panggung berlatar karya seni instalasi. Panggung itu berhiaskan ring tinju, kolam yang dibuat dari kain putih, warna-warni kostum olahraga, alas tubuh, kasur, dan barbel. Musik yang biasa mengiringi senam pun mengentak suasana.
Kerlap-kerlip lampu yang dililitkan pada tubuh penari menambah keramaian pentas itu. Mereka bergerak bak robot di dalam kolam. “Senam bukan sekadar bicara keindahan tubuh. Ada kekuatan tubuh, otot, dan mengukur denyut jantung. Itu juga ada pada tari,” kata Koreografer Ari Ersandi seusai pertunjukan pada Rabu, 18 Oktober 2016.
Proyek seni lintas disiplin itu bertajuk Pesta Senam Kreatif #1 Membicarakan Fenomena Ketubuhan Populer dalam Senam Kebugaran melalui seni. Acara itu digelar di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 18-19 Oktober 2016.
Seniman yang menggarap proyek seni itu di antaranya koreografer Ari Ersandi, komposer Septian “Gembul” Dwi Cahyo, Perupa Nindityo Adipurnomo, Perupa Doni Maulistya, koreografer Ari Ersandi, dan seniman dari Bengkel Mime Theater.
Penari Asita Kaladewa dan Ficky membuat pertunjukan dengan gerakan yang diserap dari beragam cabang olahraga, misalnya tinju, catur, gulat, dan panahan. Di pengujung pertunjukan pada hari pertama, seniman berkolaborasi dengan instruktur studio senam yang dipimpin Praptiningsih.
Ari Ersandi mengatakan, proyek seni itu berbasis riset yang dilakukan sejak Januari lalu. Dari hasil riset itu, mereka menemukan unsur pada senam yang juga dikenal pada tari. “Misalnya mengatur detak jantung,” ujar Ari. Senam selama ini kerap hanya dikenal sebagai olahraga dan dianggap sepele. “Padahal, senam dekat dengan kehidupan sehari-hari dan bisa menjadi pertunjukan kreatif.”
Perupa Nindityo Adipurnomo menciptakan karya instalasi dalam pertunjukan tersebut. Di antaranya berupa penggorengan krupuk berbahan ketela. Krupuk menjadi idiom tentang sesuatu yang disepelekan, karena krupuk menjadi makanan sehari-hari. “Itu seperti senam yang kerap diremehkan,” kata pemilik Rumah Seni Cemeti ini.
SHINTA MAHARANI