TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengkritisi kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah dalam dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dia menilai paket-paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan pemerintah masih minim implementasi.
"Tidak kurang dari 13 paket kebijakan telah ditebar guna mendongkrak kinerja perekonomian. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi tetap tidak mampu menunjukkan akselerasi," ujar Eko dalam diskusi “Dua Tahun Nawacita: Lampu Kuning Produktivitas dan Daya Saing” di kantor Indef, Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis, 20 Oktober 2016.
Menurut Eko, kemudahan berbisnis juga belum membaik. Pada 2016, berdasarkan data dari Bank Dunia, peringkat kemudahan melakukan bisnis atau ease of doing business (EODB) Indonesia berada pada peringkat 109. "Jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Malaysia pada peringkat 18 dan Thailand pada peringkat 49," tuturnya.
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mengatakan, untuk menaikkan peringkat EODB, pemerintah mesti menaikkan peringkat unsur-unsur pembentuk EODB, yakni memulai usaha yang berada pada peringkat 173, pendaftaran properti pada peringkat 131, pembayaran pajak pada peringkat 148, dan perdagangan lintas negara pada peringkat 105.
Baca:
Diundang Diskusi Ahok Malah Kabur, Kenapa?
Kapolsek Tangerang Diserang, Ditemukan Stiker ISIS di Pospol
KPU DKI Telah Terima Surat Cuti Ahok untuk Kampanye
Eko menambahkan, dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, peringkat daya saing global juga menurun. Peringkat Global Competitiveness Index Indonesia menurun dari peringkat 37 ke peringkat 41. "Pemburukan itu disebabkan aspek institusi, kesehatan dan pendidikan, inefisiensi pasar, ketersediaan teknologi, kecanggihan bisnis, dan inovasi."
Dalam dua tahun terakhir, Eko pun menilai peran industri manufaktur semakin luntur. Menurut dia, walaupun pertumbuhan ekonomi masih berkisar pada angka 5 persen, kontribusi sektor industri manufaktur bagi pertumbuhan ekonomi semakin menurun. "Kondisi ini diperparah dengan implementasi hilirisasi industri yang masih minim," tuturnya.
Implementasi hilirisasi industri yang belum menunjukkan perbaikan tersebut, menurut Eko, membuat ketergantungan Indonesia atas hasil ekspor komoditas belum dapat teratasi. Ketergantungan atas hasil ekspor komoditas itu, dia berujar, menyebabkan nilai ekspor sangat rentan terhadap gejolak yang terjadi pada perekonomian global.
ANGELINA ANJAR SAWITRI