TEMPO.CO, Jakarta - Sudah langsung tumbuh gelora optimisme ketika mulai membaca Almanak ini. Terutama keyakinan Indonesia merupakan gugusan besar yang salah satunya tersusun dari aneka rupa kekayaan budaya musikal. Sungguh ironi bila sejarah musik bangsa sendiri—seperti tercatat dalam almanak ini—tidak diketahui masyarakat luas.
Itu baru dari catatan awal berupa kronikal peristiwa musik sepanjang satu dekade (2005-2015) yang bersumber dari berita media massa. Bayangkan jika pada dekade-dekade sebelumnya juga digali—tak akan cukup ribuan halaman menampungnya.
Berdasarkan pengalaman, kerja pengarsipan seperti ini sulit dan melelahkan. Selain dedikasi, ketelitian, perlu berkorban waktu dan biaya yang tidak sedikit. Hasilnya tidak langsung fungsional. Beda dengan buku musik berjenis praktis (how-to). Inilah esensi kerja arsip, sebuah kerja jangka panjang yang tidak mengenal kedaluwarsa selain usaha membangkitkan ingatan kolektif (kesadaran).
Itu sebabnya kita perlu menghargai kerja keras Kelik M. Nugroho beserta tim yang ia pimpin untuk menyusun sesuatu yang tergolong (sangat) langka ini. Almanak ini melengkapi buku Rock ‘n Roll Industri Musik Indonesia (Theodore KS), 100 Tahun Musik Indonesia (Denny Sakrie), dan Kamus Musik (Karl-Edmund Prier) yang terbit pada 2013-2015.
Keunggulan lain dari almanak setebal 300 halaman ini—di mana jejak demi jejak momentum peristiwanya disusun berdasarkan kurun waktu kalender—adalah mengetengahkan peristiwa musik dari berbagai genre. Tak mengherankan, selain ada nama Benyamin Sueb, kita menemukan (karya) Mozart yang mendenting indah di tangan pianis Aisha Sudiarso.
Simak beberapa cuplikan berikut ini: Pada 1954 muncul kelompok musik bernama Gumarang, kumpulan pemuda Minangkabau yang mengawinkan musik tradisional Minang dengan musik Latin dalam konstelasi musik populer (hal. 122). Apakah kita pernah mendengar nama dan karya mereka?
Biola berumur ratusan tahun milik W.R. Supratman yang terkubur bersama jasad beliau selama 67 tahun kemudian digali dan dimainkan kembali oleh (alm.) Idris Sardi dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda pada 2005 demi menghargai sejarah (hal. 26). Peristiwa seperti itu sangat langka.
Pada 12 Oktober 2014, sebanyak 1.750 orang mengisi pergelaran kolosal Festival Kebudayaan dan Pameran Edukatif untuk Perdamaian di Istora Senayan. Jumlah yang tak lazim untuk ukuran pengisi festival (hal. 105).
Lalu pada 9 Februari 2013 digelar Grand Final Lomba Tunanetra Menyanyi yang diikuti penyandang disabilitas se-Jabodetabek di Aula Sekolah Luar Biasa A Negeri di Lebak Bulus, Jakarta Selatan (hal. 89). Sementara kontes menyanyi di stasiun televisi dengan kemegahan pertunjukan sudah sering kita lihat, yang ini berbeda. Catatan itu ada di buku ini. Dan kita bisa menyimak peristiwa lain yang seringkali luput dari perhatian.
Almanak ini disusun dari bagian-bagian, antara lain, Kronik Musik Indonesia (2005-2015), Kelompok Musik Indonesia Terpilih (1954-1992), Tokoh Musik Indonesia (A-Y), serta deretan daftar menyangkut musikus berpengaruh, album dan lagu terbaik, penghargaan musik, hingga daftar label, blog, dan sekolah musik. Cukup lengkap sebagai rangkuman informasi musik yang efektif disimak.
Lebih dari itu, buku ini penting untuk dunia pendidikan. Niat penerbitan buku ini sudah ke arah sana. Buku ini turut membantu menanamkan sejarah nilai-nilai kehidupan melalui media musik, yang kian asing di meja kurikulum sekolah, karena musik selalu dianggap tidak lebih penting dari matematika, fisika, atau psikologi. Padahal di dalam musik kita juga belajar matematika (menghitung ketukan), fisika (dasar ilmu bunyi), dan psikologi (tatanan jiwa).
“Dalam konteks pendidikan, universalitas pesan yang bisa disampaikan lewat musik merupakan satu ruang tersendiri yang harus dioptimalkan untuk mengedukasi masyarakat. Nilai kebangsaan, moral, sosial-politik, ada di dalam musik”, demikian kata Tamsil Linrung, Pembina Yayasan Edukasi Sejahtera dan Yayasan Tali Kemanusiaan, dalam sambutan untuk buku ini.
Di tengah orang-orang yang kecanduan tren dan kecepatan, ternyata masih ada yang teliti sedemikian rupa demi sejarah musik negeri sendiri yang langka ditulis. Semoga buku ini memicu usaha serupa yang lain. ***
Erie Setiawan, Direktur Lembaga Pusat Informasi Musik “Art Music Today” Yogyakarta
++
Judul Buku: Almanak Musik Indonesia 2005-2015
Penulis: Kelik M. Nugroho
Penerbit: Sekolah Insan Cendekia Madani, Serpong.
Tebal: 300 halaman, 2015