TEMPO.CO, Jakarta - International Data Corporation atau IDC Indonesia menyatakan target pemerintah Indonesia untuk mencapai nilai transaksi e-commerce sebesar US$ 130 miliar merupakan hal yang tidak realistis. IDC menilai faktor-faktor pendukung dalam industri e-commerce di Indonesia tidak cukup untuk memenuhi target dan harapan pemerintah Indonesia dalam ekonomi digital 2020.
"Angka ini tidak akan tercapai," kata Sudev Bangah Country Managet IDC Indonesia di Hotel Raffles Jakarta, Senin, 21 November 2016. Ia menyatakan banyak alasan atas ketidaksetujuan IDC terhadap target yang ditetapkan pemerintah Indonesia.
IDC menyampaikan nilai e-commerce yang mungkin dicapai Indonesia pada 2020 hanyalah sebatas US$ 1,8 miliar. "Ini pun perhitungan dengan definisi e-commerce yang dipakai pemerintah," kata Mevira Munindra, Head of Consulting IDC Indonesia di lokasi yang sama.
Berikut alasan-alasan yang diungkapkan IDC Indonesia atas terlalu tingginya target pemerintah terhadap perkembangan industri e-commerce di Indonesia.
Pertama, dasar bisnis e-commerce yang berjalan di Indonesia belum terdefinisi dengan jelas apa dan siapa saja yang tergolong dalam e-commerce. Indonesia memasukkan seluruh bisnis online yang terjadi di Indonesia ke industri e-commerce. Padahal di dunia internasional e-commerce hanya didefinisikan sebagai segala transaksi yang terjadi secara online.
"Di Indonesia bisnis yang punya toko offline dan online dimasukkan kategori e-commerce," kata Sudev. Ketidakjelasan definisi dasar tentang e-commerce membuat perhitungan nilai transaksinya menjadi tidak masuk akal. "Ini jelas membuat penghitungan ganda pada transaksi karena transaksi yang terjadi pada toko online sebenarnya hanya tercatat pada transaksi toko offline," ujarnya.
IDC menilai di Indonesia, e-commerce hanyalah sebuah metodologi penjualan baru dari toko offline yang sudah ada dan bukan menciptakan toko online yang sesungguhnya.
Kedua, kemustahilan pencapaian target 2020 ini juga didorong atas ketidaktransparanan data perdagangan yang selama ini terjadi. Sudev kembali mengingatkan transaksi yang dinilai dalam penjualan online sebenarnya juga dihitung ganda oleh perdagangan online.
Ketiga, IDC menilai pasar e-commerce yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi. Perusahaan e-commerce membuat nilai atas perusahaannya sendiri terlalu tinggi. Apa yang dibuat industri ini kemudian yang diambil pemerintah sebagai dasar untuk membuat target 2020. Padahal nilai yang diumumkan perusahaan e-commerce dilakukan untuk menarik investor.
Keempat, realitas di lapangan menunjukkan pengeluaran IT di Indonesia hanya bernilai US$ 15 miliar sepanjang 2015.
Kelima, tidak ada inovasi apa pun yang dilakukan e-commerce di Indonesia. Industri ini hanya memindahkan toko offline mereka ke toko online tanpa sebuah hal baru yang diciptakan di dunia online. "Sampai poin ini saja tidak ada faktor yang mampu menjadi pendorong tercapainya nilai transaksi pemerintah 2020," tuturnya.
Keenam, sistem perdagangan offline-to-online (O2O) di Indonesia hanya merupakan strategi pemasaran atau channel penjualan yang baru. Perdagangan online bukanlah sebuah toko online yang nyata dengan ketersediaan barang hanya milik toko online. Di Indonesia, O2O dinilai sebagai strategi baru, bukan transformasi digital secara utuh.
Ketujuh, estimasi nilai yang dibuat pemerintah tidak mewakili pasar Indonesia secara utuh. Perhitungan yang dibuat pemerintah hanyalah perhitungan dengan basis data di kota besar. "Sudut pandangnya Jakarta sentris saja," ungkap Sudev.
Kedelapan, peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia tidak punya korelasi apa pun pada perdagangan ataupun transaksi online. Data yang dimiliki IDC menunjukkan hanya 13 persen pengguna internet yang melakukan transaksi belanja secara online. Sedangkan sisa pengguna internet lain masih melakukan perdagangan atau transaksi offline dengan berbagai alasan.
Kesembilan, berkaitan dengan definisi e-commerce, fakta di industri saat ini menyatakan tidak ada bisnis online di Indonesia yang dapat disebut sebagai e-commerce sepenuhnya. "Semua yang tersedia di internet hanya market place, yakni kepemilikan barang dimiliki pihak ketiga atau distributor, bahkan milik induk usaha yang bergerak di toko offline," kata dia.
Kesepuluh, janji pemerintah akan terbentuknya startup berkategori unicorn, atau startup bernilai valuasi US$ 1 miliar atau sekitar Rp 13,5 triliun, tidak tercapai atau tidak terwujud hingga saat ini.
MAYA NAWANGWULAN