TEMPO.CO, Yogyakarta - Jumlah perokok di Indonesia saat ini dalam kondisi darurat. “Konsumsi rokok kita itu mencapai lebih dari sepertiga jumlah penduduk atau 36,4 persen,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan M. Subuh saat membuka The 3rd Indonesian Conference on Tobacco or Health di Yogyakarta, Sabtu, 26 November 2016.
Selain jumlah perokok yang mencapai lebih dari sepertiga, kata Subuh, saat ini jumlah perokok pemula di Indonesia pun melonjak tinggi. Hasil survei indikator kesehatan nasional, prevalensi perokok di bawah usia 18 tahun pada 2015, meningkat dari 7,2 persen menjadi 8,8 persen. “Padahal kami menargetkan pada 2016 prevalensi merokok usia di bawah usia 18 tahun itu 6,4 persen bahkan menjadi 5,4 persen pada 2018,” katanya.
Subuh menjelaskan, banyak orang yang tidak memahami bahwa merokok menjadi kontribusi terbesar penyakit tidak menular seperti kanker dan jantung. “Seorang perokok mempunyai risiko dua sampai empat kali lipat mengalami serangan jantung koroner,” ucapnya.
Upaya pencegahan dan pengendalian konsumsi tembakau, kata Subuh, sudah dilakukan. Saat ini, ia menerangkan, sudah ada 227 peraturan kawasan tanpa rokok. Ini terinci antara lain 91 kabupaten/kota sudah memiliki peraturan daerah, 96 peraturan bupati/peraturan wali kota, 9 perda provinsi, 6 peraturan gubernur, 1 instruksi gubernur, dan 1 instruksi wali kota. “Sembilan provinsi ini sudah dicanangkan Germas atau Gerakan Masyarakat Hidup Sehat pada 15 November lalu.”
Menurut Subuh, pemerintah menargetkan 50 persen daerah sudah menerbitkan peraturan kawasan tanpa rokok pada 2017.
Selain peraturan KTR, Kementerian Kesehatan mengkampanyekan perilaku Cerdik untuk menjaga kesehatan. Cerdik ini merupakan akronim dari Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin aktivitas fisik, Diet seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres.
Adapun Staf Ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina Muliana Girsang menyatakan Indonesia saat ini dalam kondisi darurat konsumsi produk tembakau. “Angka penerimaan cukai dengan dana yang dikeluarkan pemerintah untuk mengobati penyakit akibat konsumsi tembakau tidak sebanding,” katanya. Ia menuturkan, saat ini diperlukan penanganan dan gerakan bersama untuk mewujudkan Indonesia sehat.
Chatarina mengatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah menerbitkan Peraturan Mendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok. “Peraturan ini ditujukan untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan nyaman di sekolah,” katanya.
Permendikbud tentang KTR ini mewajibkan sekolah memasang tanda dilarang merokok, sekolah dilarang bekerja sama dengan industri rokok, kepala sekolah harus menegur guru yang merokok di sekolah, dan menerbitkan peraturan tata tertib sekolah tentang larangan merokok. “Kami memohon beberapa daerah untuk mendukung regulasi ini,” kata Chatarina.
Menurut Chatarina, merokok tidak saja memicu penyakit tidak menular. “Tapi juga menjadi pintu masuk narkoba.”
ISTIQOMATUL HAYATI