TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum dalam sidang perkara dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan surat dakwaan yang berisi tujuh lembar sudah proporsional tanpa ada tekanan massa.
"Dakwaan itu kan berisi pasal dan uraian cara-cara melakukan (penistaan) dia. Dari pidato dia yang panjang itu, yang kita ambil jadi bagian dakwaan, itu kan cuma sedikit bagian. Jadi tujuh lembar itu sudah proporsional. Tidak ada masalah," kata ketua tim jaksa penuntut umum, Ali Mukartono, usai sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa, 13 Desember 2016.
Ali mengatakan tidak ada permasalahan dengan isi surat dakwaan bernomor register perkara 147/jkt.ut/12/201 tersebut. Apalagi dia menilai surat dakwaan itu lebih sedikit dibanding nota keberatan yang disampaikan Ahok beserta tim kuasa hukumnya.
Baca:
Sidang Ahok Dimulai, Ini 5 Peluang Lolos
Tak Ada Makar, Aktivis Pun Jadi
Menurut dia, tidak ada tekanan selama pelimpahan berkas dan persidangan sehingga mengakibatkan proses hukum terkesan terburu-buru seperti yang disampaikan tim kuasa hukum dalam eksepsi.
"Bagi Jaksa Penuntut Umum, hanya berkas perkara yang dikirim penyidik Polri itu dibuat di atas sumpah jabatan. Penuntut umum harus percaya itu jadi tidak ada tekanan dan sebagainya. Ketika berkas perkara sudah memenuhi syarat formil dan materiil, kewajiban JPU harus menyerahkannya kepada pengadilan," kata Ali.
Ia menambahkan, aksi ratusan massa yang menyampaikan aspirasi di luar Gedung PN Jakarta Utara hanya sebuah dinamika dari proses hukum, tapi tidak akan mempengaruhi dakwaan persidangan.
Baca Juga:
Buya Syafii Maarif: 400 Tahun untuk Ahok
Sari Roti: Maju Kena Mundur Kena
Adapun JPU mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP tentang penodaan agama. Ahok dinilai secara sengaja telah menghina surat Al Maidah ayat 51 saat melakukan kunjungan kerja ke Pulau Pramuka, Kecamatan Pulau Seribu Selatan, Kabupaten Pulau Seribu, pada 27 September 2016.
"Perbuatan terdakwa yang telah mendudukkan atau menempatkan Surah Al-Maidah ayat 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi dan membodohi masyarakat dalam rangka pemilihan Gubernur DKI Jakarta dipandang sebagai penodaan terhadap Al-Quran sebagai kitab suci agama Islam sejalan dengan pendapat dan sikap keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI)," kata jaksa Ali Mukartono saat pembacaan dakwaan.
Ali menambahkan, tim JPU sudah memiliki konsep untuk penyampaian tanggapan atas eksepsi atau nota keberatan dari terdakwa Ahok dan tim kuasa hukumnya.
Sidang selanjutnya akan digelar pada Selasa pekan depan, 20 Desember 2016, di lokasi yang sama, PN Jakarta Utara di Jalan Gajah Mada Nomor 17, Jakarta Pusat (bekas gedung PN Jakarta Pusat).
ANTARA
Baca Pula:
Makar Versus Kebebasan Berpendapat oleh Ikhsan Darmawan
Ahok Tersangka, Massa Berkuasa
Surat-surat Perlawanan Gie, Sebuah Undangan