TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil mengungkapkan alasan masih banyaknya konflik terkait dengan sengketa tanah yang terjadi di Indonesia.
"Ini karena ada ketidakpastian hukum tanah di Indonesia. Banyak tanah yang belum bersertifikat," ujar Sofyan di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Rabu, 14 Desember 2016.
Sofyan mengatakan saat ini baru 46 persen dari total tanah di seluruh Indonesia, kecuali kawasan hutan, yang telah bersertifikat. Pemerintah pun mencanangkan target ambisius, yaitu pada 2025 seluruh tanah di Indonesia harus sudah terdaftar dan bersertifikat.
"Dengan demikian, kami berharap kemungkinan konflik tanah akan relatif lebih kecil," ucapnya. Adapun tahun ini pihaknya menargetkan penerbitan 5 juta sertifikat tanah.
Target itu akan bergerak progresif, di mana pada 2018 naik menjadi 8 juta sertifikat, 2019 naik menjadi 9 juta sertifikat, dan pada 2020 hingga seterusnya bisa mengeluarkan 10 juta sertifikat tanah per tahun.
Untuk mencapai target itu, Sofyan berujar Kementerian Agraria akan menggunakan fasilitas teknologi informasi (IT). "Kami akan membuat akses kantor pertanahan online seperti di negara maju. Jadi, nanti bisa dicari mau tanah di mana, berapa luasnya, siapa pemiliknya, dan berapa nomor induk bidangnya."
Sofyan menyadari tidak mudah untuk mewujudkan hal itu. Ada sejumlah kendala terkait dengan birokrasi dan keterbatasan juru ukur tanah BPN.
"Saat ini juru ukur yang efektif cuma sekitar 900 orang. Hal itu yang membuat proses mengurus sertifikat lama karena antre, lalu ada calo dan lain-lain," ujarnya. Dia berharap kebutuhan 3.000 jasa juru ukur yang bersertifikat dan independen dapat segera terpenuhi.
Terakhir, Sofyan menuturkan, untuk meningkatkan kepastian hukum, pemerintah dan DPR tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Ada beberapa poin kepastian hukum yang diberikan, seperti tentang hak gugatan tanah dan lama waktu kepemilikan sertifikat tanah. "Semoga sebelum akhir 2017 bisa selesai."
GHOIDA RAHMAH