TEMPO.CO, Surabaya - Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Komisaris Besar Muhammad Iqbal menanggapi kritik yang disampaikan oleh Setara Institute tentang pengawalannya terhadap massa FPI pada Ahad, 18 Desember 2016. Saat itu, FPI Jawa Timur mensosialisasi Fatwa MUI yang berisi larangan bagi muslim mengenakan atribut non-muslim dan larangan pengusaha memaksa karyawan muslim memakai atribut non-muslim, ke sejumlah mal dan pusat perbelanjaan di Kota Surabaya.
“Kalau dikonotasikan melakukan pengawalan, menurut kami, pengawalan dalam bentuk kepentingan masyarakat, iya. Tapi dalam bentuk keorganisasian dikawal oleh polisi atau untuk kepentingan yang bersangkutan, tentu tidak ada itu,” kata Iqbal kepada Tempo, Selasa, 20 Desember 2016.
Kritik juga dilontarkan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, yang menilai pengawalan oleh polisi itu berlebihan. Sebab, fatwa MUI itu bukan hukum positif sehingga tidak seharusnya ditanggapi berlebihan oleh penegak hukum.
"Hukum positif kita adalah undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan termasuk keputusan Kapolri sendiri. Jadi, seharusnya, aturan itu yang dipegang. Presiden memanggil Kapolri perihal itu," ujarnya. BACA: Imbas Sweeping, Presiden Panggil Kapolri
Menurut Iqbal, setiap ada unjuk rasa, baik unjuk rasa buruh atau aksi lainnya, pasti pihak kepolisian ikut mengawalnya. Terutama ketika bergerak dari satu titik ke titik lainnya, sehingga bisa mengatur arus lalu lintas. “Unjuk rasa dari manapun itu, pasti ada kepolisian di situ. Setidaknya untuk mengatur arus lalu lintas dan yang lainnya,” tuturnya.
Oleh karena itu, Iqbal membantah apabila ada isu-isu sweeping yang dilakukan oleh massa FPI itu. Menurut dia, adanya komentar dari masyarakat tentang damainya aksi sosialisasi fatwa MUI tersebut, adalah bukti. “Kalau isu-isu sweeping itu sama sekali tidak ada, sama sekali tidak ada kekerasan,” kata dia.
Bahkan, Iqbal memastikan bahwa tindakan semacam itu biasa dilakukan oleh pihak kepolisian. Tujuannya untuk melakukan pengamanan selama aksi berlangsung. “Saya tidak melihat demo apa saja. Apalagi ada organisasi masyarakat yang dalam tanda petik suka dengan kekerasan, makanya kami harus menjaga itu,” katanya.
Ketua Setara Institute, Hendardi, menilai, pengawalan kepolisian terhadap sosialisasi fatwa yang dilakukan Front Pembela Islam di Surabaya, adalah intimidasi. Menurut dia, pengawalan tersebut merupakan bentuk ketundukan institusi kepolisian terhadap kelompok vigilante yang beroperasi dengan melawan hukum. "Seharusnya polisi mencegah dan melarang intimidasi berwajah sosialisasi fatwa," kata Hendardi dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Senin, 19 Desember 2016.
MOHAMMAD SYARRAFAH