TEMPO.CO, Jakarta - Data statistik Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa partisipasi perbankan nasional dalam pembiayaan proyek infrastruktur hanya berkisar 8-10 persen Padahal menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat ini, pemerintah tengah memprioritaskan pembangunan proyek infrastruktur.
"Orang bisa excuse, karena source of funding hanya dari tabungan dan deposito yang biasanya kurang dari satu tahun. Sementara itu, infrastruktur 20-30 tahun. Di situ terdapat maturity mismatch," kata Sri Mulyani di Four Seasons Hotel, Jakarta Selatan, Kamis, 22 Desember 2016.
Baca Juga:
Namun, menurut Sri Mulyani, mismatch atau ketidakcocokan itulah yang perlu diselesaikan oleh perbankan, khususnya bank-bank milik pemerintah. "Kan saya punya Bank BUMN, digaji tinggi-tinggi untuk memikirkan bagaimana untuk address. You have to think how to bridge this maturity mismatch," ujarnya.
Baca: Peruri: Uang Rupiah Baru Dicetak di Peruri Karawang
Salah satu cara perbankan untuk terlibat dalam pembiayaan proyek infrastruktur, menurut Sri Mulyani, adalah dengan menerbitkan obligasi atau surat utang korporasi. Saat ini, komposisi obligasi perbankan yang digunakan untuk pembiayaan proyek infrastruktur juga hanya sebesar 18-20 persen.
Padahal, Sri Mulyani menambahkan, masyarakat memiliki potensi untuk membeli obligasi korporasi tersebut yang akhirnya dapat digunakan sebagai instrumen pembiayaan proyek infrastruktur. "Setiap pemerintah menjual surat utang negara (SUN), selalu over subscribe 4-5 kali. Masyarakat cuma butuh instrumen yang match."
Simak: Irman Ditahan KPK, Siap Bongkar Mega-Korupsi E-KTP
Untuk itu, Sri Mulyani kembali menegaskan agar bank-bank BUMN menciptakan suatu instrumen agar dapat menjembatani masyarakat yang memiliki sumber pendanaan dengan kebutuhan untuk membiayai proyek infrastruktur. "Saya ingin challenge para banker, mereka-mereka yang hidupnya keren tiap hari, coba ."
ANGELINA ANJAR SAWITRI