TEMPO.CO, Bandung – Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Anton Charliyan yakin fenomena “om telolet om” atau bunyi klakson “telolet” hanya bersifat temporer. “Itu mungkin hanya temporer, reaksional,” katanya di Bandung, Jumat, 23 Desember 2016.
Anton berujar, belum ada ketentuan yang mengatur soal bunyi klakson. “Masalah larangan bunyi kan belum dirumuskan juga. Saya serahkan itu kepada pembuat peraturan. Kalau Polri hanya menjalankan aturan, kalau boleh ya boleh,” ujarnya.
Kendati soal modifikasi bunyi klakson tidak dilarang, ada satu yang dilarangnya. “Yang tidak boleh itu memberhentikan bus biar ‘telolet-telolet’, itu kan bahaya,” tutur Anton.
Anton menegaskan, tidak ada larangan membunyikan klakson “telolet”. Yang tidak boleh, kata dia, masyarakat mencegat bus agar membunyikan klakson “telolet”. "Nanti busnya enggak nyampe-nyampe, dong, kalau cuma ‘telolet-telolet’. Mungkin juga promosi perusahaan saja,” ucapnya.
Sebelumnya, dalam pemberitaan Tempo.co, Kepala Badan Pengawas Jalan Tol Elly Adriani Sinaga mengatakan pengemudi harus menyesuaikan volume klaksonnya. "Di Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2013 diatur bahwa bunyi klakson paling maksimal itu 118 desibel," ucap Elly kepada wartawan di Terminal Kalideres, Jumat, 23 Desember.
Elly berujar, setelah diukur, volume klakson “telolet” adalah 200 desibel. Jumlah tersebut hampir dua kali batas maksimal yang diperbolehkan.
Meski demikian, Elly tidak menyebutnya akan dilarang. "Masyarakat kan dengar lagunya, itu yang dinikmati, tapi volumenya harus menyesuaikan PP," ujar Elly.
AHMAD FIKRI