TEMPO.CO, Semarang - Kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kasus intoleransi terkait agama di Jawa Tengah selama 2016 mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Selama periode Januari hingga Desember 2016, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Jawa Tengah menemukan 20 kasus intoleransi di Jawa Tengah.
“Dari tahun ke tahun selalu ada pengulangan motif dan pola kasus-kasus intoleransi,” kata aktivis Lembaga Studi Sosial dan Agama Tedi Kholiluddin kepada Tempo di Semarang, Senin, 2 Januari 2017.
Adapun temuan eLSA selama 2015 hanya ada 14 kasus pelanggaran tindakan intoleransi di Jawa Tengah. Sedangkan pada 2014 terjadi 10 kasus, pada 2013 ada enam kasus, dan pada 2012 ada 17 kasus.
Tedi menyatakan kasus intoleransi selama 2016 antara lain berupa polemik pembangunan rumah ibadah, adanya upaya paksa atau tekanan kelompok tertentu untuk menghentikan acara keagamaan, penolakan penceramah yang dianggap kerap menyebarkan kebencian, penolakan acara Syiah, kriminalisasi penulis buku agama dan lain-lain.
Menurut Tedi, banyak kasus intoleransi agama yang terus ada karena belum terselesaikan hingga sekarang. Misalnya, polemik pembangunan Gereja Injil Tanah Jawa (GITJ) Dermolo, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, yang sudah lama terjadi tapi hingga kini tak kunjung ada penyelesaian. Ada sekelompok orang yang menekan agar gereja itu tak dibangun.
“Sampai sekarang polemik GITJ Jepara tak jelas penyelesaiannya, apakah ditolak permanen atau diberi izin sementara,” kata Tedi.
Selama ini, kata Tedi, kasus intoleransi seperti selalu ada pengulangan dari pola lama. Misalnyakonflik dengan Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), penyesatan aliran keagamaan, konflik rumah ibadah hingga aktivitas Front Pembela Islam (FPI).
Tedi menyatakan, data kasus intoleransi yang berhasil dikumpulkan eLSA berbeda dengan data yang dialnsir Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Kapolda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Condro Kirono menyebut selama 2016 muncul sembilan kasus intoleran. “Sembilan kasus itu terjadi sejak Januari hingga akhir Desember 2016,” kata Condro.
Sebanyak sembilan kasus itu antara lain, perusakan rumah ibadah di Kabupaten Klaten pada Maret, aksi menolak sebuah gerakan aliran kepercayaan di Rembang, kasus kristenisasi yang muncul di Kecamatan Pracimantoro Wonogiri, kasus pembakaran Alquran di Kelurahan Sumber Solo.
Kemudian, peristiwa penolakan acara buka puasa bersama Sinta Nuriyah (istri almarhum Abdurrahman Wahid/Gus Dur) di Gereja Paroki Kristus Raja Ungaran, pencurian alat ibadah di Gereja Kleco Kartasura, kasus perusakan patung Bunda Maria di Klaten, penolakan acara perayaan Asyura Syiah di Semarang, sweeping topi Sinterklas oleh ormas FPI di Sragen, hingga aksi sweeping yang disertai penganiayaan oleh Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) di restoran Solo Kichten.
Koordinator Gusdurian Semarang Subhan menyatakan akhir-akhir ini semboyan Bhineka Tunggal Ika memang sudah mendapatkan ujian. “Persatuan dalam keberagamaan tidak lagi membumi, sehingga, baik state actor (negara) maupun kelompok masyarakat tertentu kerap kali melakukan tindakan-tindakan yang mengangkangi keberagaman,” kata Subhan.
ROFIUDDIN