TEMPO.CO, Jakarta - Isak tangis ratusan warga Kampung Bugis Serangan, Denpasar pecah. Saat upaya eksekusi lahan seluas 94 are yang dihuni 36 keluarga, pada Selasa, 3 Januari 2017 aparat kepolisian yang mengepung ratusan warga terus menekan. Bentrokan kemudian pecah.
Petugas kepolisian berusaha menyingkirkan warga dari jalan ketika alat berat excavator akan merobohkan bangunan rumah mereka. Dari pantauan Tempo, tampak dua warga yang berhasil lepas dari kepungan polisi mengalami perdarahan di bagian kepala.
Para anak-anak berteriak ketakutan. Mereka berhamburan lari tak tentu arah. Suasana yang semakin riuh membuat pihak kepolisian menembakkan gas air mata. Sontak membuat warga tak kuasa menahan pedih dan sesak.
Warga yang telah menyingkir dari jalan sempat berusaha menghadang alat berat masuk. Pukul 11.10 Wita, warga mulai berkumpul di tepi lapangan Made Bulit. Mereka semua menangis dan menjerit-jerit tak tahan atas kejadian itu. "Saya tidak tahan dua kali kena pukulan polisi," kata Zaenudin, 35 tahun.
Simak:
1.278 Polisi Amankan Eksekusi Lahan di Pulau Serangan Bali
Saat menceritakan peristiwa itu darah masih mengalir di kening Zaenudin. "Saya terpaksa keluar sendiri dari kepungan itu, karena darah banyak yang keluar di kepala," ujarnya.
Hery Purwanto, 38 tahun, juga mengalami hal serupa, kepala sebelah kirinya berdarah. Pergelangan tangan kanan dia bengkak. "Saya merasa ada enam pukulan saya tangkis. Setelah itu kena sekali di kepala langsung berdarah," ujarnya. Di bagian leher belakangnya juga memar terkena tembakan gas air mata. "Karena sesak saya langsung keluar," katanya.
Warga lainnya, Muhammad Nuh, 51 tahun, mengatakan bahwa pengawalan kepolisian saat eksekusi dianggap berlebihan. "Kami cuma sekitar 150-an, mereka (polisi) ribuan. Masak harus kayak begini," ujarnya.
Husein, 43 tahun berteriak-teriak lantaran mengetahui perhiasan yang disimpan di dalam lemari hilang saat pelaksanaan eksekusi. "Saya hanya bisa menyelamatkan ijazah-ijazah anak saya saja," ujarnya. "Saya mau lapor ke mana? Polisi diam saja," katanya, lagi.
Pada 2009, terjadi Konflik Agraria di Desa Serangan tepatnya di Kampung Bugis. Warga Kampung Bugis, Maisarah mengklaim 94 are sebagai miliknya dengan bukti sertifikat tanah tahun 1992.
Para warga Kampung Bugis melakukan perlawanan lewat jalur hukum hingga ke Mahkamah Konstitusi (MA). Pada 27 Februari 2014 lalu, juru sita dari Pengadilan Negeri Denpasar dibantu Polresta Denpasar dan TNI sempat berupaya mengeksekusi lahan itu.
Namun, upaya eksekusi pembongkaran itu gagal untuk menghindari bentrok fisik antara aparat dan warga. Pada 28 Mei 2014 warga masih melakukan perlawanan melalui jalur hukum dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). PK itu atas dasar temuan bukti baru dari warga, bahwa ada kesalahan sasaran obyek tanah di dua lokasi yang berbeda.
Warga Kampung Bugis di Serangan sudah menempati tanahnya sejak ratusan tahun silam. Lahan yang dihuni warga Kampung Bugis adalah tanah hibah dari Puri Pemecutan.
BRAM SETIAWAN