TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menilai unjuk rasa Bela Rakyat 121, yang dilakukan tak kurang dari 25 badan eksekutif mahasiswa se-Jabodetabek di depan Istana Merdeka semalam, Kamis, 12 Januari 2017, tuntutannya kurang cerdas. “Kurang menyentuh hal substansial bagi masyarakat,” katanya.
Kegiatan unjuk rasa oleh BEM yang digelar gabungan mahasiswa itu menolak sejumlah kebijakan pemerintah. Dalam aksi yang berlangsung bersamaan di 19 daerah tersebut, mahasiswa menyoroti tiga kebijakan Presiden Joko Widodo yang terbit pada awal tahun, yaitu kenaikan harga BBM nonsubsidi, pencabutan subsidi listrik golongan 900 VA, dan kenaikan tarif administrasi STNK.
Baca juga:
Agus Pambagio: Tuntutan BEM Kemarin Kurang Cerdas
Gagal Bertemu Jokowi, Demo Mahasiswa 121 Bubarkan Diri
Menurut Agus Pambagio, unjuk rasa BEM terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa kurang tepat memang harus dilakukan. Hal ini sebagai bagian bentuk kritis terhadap kebijakan pemerintah.
“Namun, dalam melakukan protes atau demo itu, harus pula memahami betul apa yang diatur. Jangan sampai yang untuk rakyat menengah-atas dan sudah tidak terlalu diatur subsidinya malah kita protes, seolah-olah justru mereka yang terkena kebijakan itu dianggap sebagai rakyat yang masuk kategori kurang mampu dan perlu disubsidi,” ujarnya.
Agus Pambagio tak menampik bahwa unjuk rasa oleh BEM yang tidak hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya tapi juga di beberapa daerah lain di Indonesia itu disebabkan tidak berjalannya komunikasi publik yang baik dari pemerintah. “Komunikasi negara ke publik buruk. Siapa yang harus bicara? Juru bicara Presiden-kah? Atau Menkominfo, Mensesneg, atau menteri-menteri sektornya? Tak ada. Dibiarkan sampai akhirnya meledak,” tutur Agus Pambagio.
Sejatinya, komunikasi terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus benar-benar sampai kepada masyarakat. “Komunikasi publik dari pemerintah ini perlu dibenahi segera,” katanya.
S. DIAN ANDRYANTO