TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung mengabulkan permohonan warga untuk membatalkan Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar.
"Hari ini pengacara kami mau mengambil putusan MA tersebut," kata Dwi Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Energi, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pada Senin, 16 Januari 2017.
Baca Juga:
Baca juga:
Menteri Luhut: "Waste to Energy" Atasi Sampah Indonesia
Pembangkit Listrik Sampah-Pemda Minta Penyesuaian Harga Beli
Selain Walhi, permohonan uji materiil itu diajukan 15 orang pemohon perorangan dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), BaliFokus, KruHA, Gita Pertiwi dan Perkumpulan YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi).
Permohonan uji materiil disampaikan pada 18 Juli 2016 dengan nomor register 27/P/HUM/2016. Sementara putusan MA keluar pada 2 November 2016 oleh Hakim Agung Is Sudaryono, Yosran, dan Supandi.
Peraturan itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 13 Februari 2016. Pertimbangan dari kebijakan itu adalah untuk mengubah sampah sebagai sumber energi dan meningkatkan kualitas lingkungan.
Selain itu untuk meningkatkan peran listrik berbasis energi baru terbarukan, pemerintah memandang perlu mempercepat pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) pada beberapa kota.
Pemerintah daerah di tujuh kota (Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar) menugaskan badan usaha milik daerah atau menunjuk badan usaha swasta untuk melaksanakan pembangunan PLTSa.
Menurut Dwi, dengan keluarnya putusan MA maka pemerintah harus mengikuti prosedur normal untuk mengelola sampah di tujuh kota besar tersebut.
"Harua ada analisis dampak lingkungannya (amdal), izin lingkungan, lewat tender dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan," katanya.
Ketika mengajukan uji materiil Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2016 , ada lima alasan yang diajukan.
Pertama, bagian terkait “percepatan” dalam Perpres 18/2016 bertentangan dengan kerangka hukum pencegahan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kedua, pembatasan PLTSa dengan teknologi termal dalam Perpres 18/2016 bertentangan dengan sistem pengelolaan sampah dan tujuan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Ketiga, keberadaan Perpres 18/2016 menimbulkan ancaman serius yang tidak dapat dipulihkan terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia sehingga bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Organik yang Persisten dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Keempat, bagian terkait “percepatan” dalam Perpres 18/2016 merupakan penyalahgunaan kewenangan Presiden dan para Kepala Daerah yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Kelima, pengundangan Perpres 18/2016 dilakukan tanpa mempertimbangkan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, khususnya “dapat dilaksanakan” dan “kedayagunaan dan kehasilgunaan” sehingga bertentangan dengan Pasal 5 huruf d dan e UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Simak juga:
Ahli Sampah Amerika Kampanye Penolakan Teknologi Incinerator
"Untuk itu kita harus mendorong pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan, ramah lingkungan, memperhitungkan circular economy, tidak bakar sampah dan mengadopsi zero waste," ujar Yuyun Ismawati dari Bali Fokus menyambut keluarnya putusan MA.
Dwi menjelaskan pemerintah harus juga mengimplementasikan UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah melalui peraturan pemerintah. Khususnya, katanya, ketentuan tentang tanggungjawab produsen terhadap sampahnya.
Menurut Dwi, selama ini produsen lepas tangan terhadap sampah yang dihasilkannya. Misalnya perusahaan baterai yang tidak bertanggungjawab terhadap batu baterai yang tidak terpakai lagi. Dia menyayangkan pemerintah tidak berani menegakkan aturan yang terkait kewajiban perusahaan soal sampah.
UNTUNG WIDYANTO