TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 bisa mencapai 5,3 persen, meningkat dari tahun lalu sebesar 5,1 persen. "Ekonomi Indonesia tetap kuat di tengah pertumbuhan global yang sedang lesu," ucap Acting Lead Economist World Bank Jakarta Hans Anand Beck dalam paparannya di peluncuran laporan triwulanan perekonomian Indonesia oleh Bank Dunia bersama Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Selasa, 17 Januari 2017.
Menurut Hans, ekonomi Indonesia dinilai mampu bertahan terhadap berbagai gejolak finansial global. Ada sejumlah faktor yang dapat berpotensi meningkatkan atau melemahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Faktor itu terdiri atas faktor eksternal dan internal. "Tapi lebih banyak faktor yang membawa risiko menurunkan pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia," ujar Hans.
Baca : IMF Proyeksikan Ekonomi Dunia Tahun ini Naik 3,4 Persen
Faktor pendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi dari eksternal adalah kembali naiknya harga-harga komoditas. Sedangkan faktor internal adalah reformasi iklim investasi yang berjalan cepat.
Bank Dunia memaparkan pula faktor yang berpotensi melemahkan pertumbuhan ekonomi dari sisi eksternal. Faktor tersebut adalah lemahnya pertumbuhan perdagangan global dan adanya ketidakpastian kebijakan ekonomi global. "Kalau dari internal, adanya risiko penerimaan negara lebih rendah daripada perkiraan," tutur Hans.
Sementara itu, kata Hans, program pengampunan pajak (tax amnesty) pemerintah yang kini sudah memasuki periode ketiga dapat menambah penerimaan 2016 sebesar Rp 103 triliun atau mencapai 62 persen dari target di akhir periode kedua. “Tapi penerimaan utama lain turun pada 2016."
Baca : Sri Mulyani Minta Dana Desa Rp 60 Triliun Dioptimalkan
Dengan demikian, ucap Hans, kredibilitas fiskal Indonesia harus ditingkatkan, salah satunya dengan merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menyertakan proyeksi penerimaan 2017 yang lebih realistis.
Selain itu, pemerintah masih bisa melakukan perbaikan mutu belanja, khususnya belanja modal yang nilainya turun 23 persen pada tahun lalu. "Dan juga perlu realokasi belanja, khususnya dari gaji pegawai dan subsidi ke sektor-sektor yang lebih produktif," tutur Hans.
GHOIDA RAHMAH