TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Islamic Economic Forum for Indonesian Development (ISEFID) Ali Sakti menyatakan, berdasarkan pada kajian awal tahun ISEFID, perbankan syariah pada 2017 harus terus berbenah dan memperbaiki kualitas layanan dan jaringan. Masih terdapat ketimpangan yang lebar dalam perbankan syariah. “Mulai sebaran aset, pembiayaan, dan dana pihak ketiga (DPK),” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Rabu, 18 Januari 2017.
Menurut Ali, sebaran aset perbankan syariah masih terkonsentrasi di Pulau Jawa atau sebesar 77,06 persen, khususnya di Jakarta 53,6 persen. Sebaran pembiayaan juga masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, yakni sebesar 71,19 persen, khususnya Jakarta 40,19 persen. Tidak berbeda, sebaran DPK juga masih didominasi di Pulau Jawa, yakni 74,70 persen, khususnya di Jakarta 47,53 persen.
Baca Juga:
Baca: Pengamat Ini Memperkirakan Bunga Acuan Turun pada April
Data tersebut, kata Ali, menunjukkan sebaran perbankan syariah belum merata di seluruh Indonesia. Perbankan syariah mempunyai peluang untuk menjadi mitra utama pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah.
Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan perbankan syariah mencapai 19,67 persen. Sedangkan pangsa pasar perbankan syariah mencapai angka 5,12 persen, atau merupakan level tertinggi sepanjang keberadaan perbankan syariah di Indonesia.
Baca: LPS: Jumlah Rekening Deposito Naik Tertinggi
“Keberhasilan perbankan syariah nasional dalam mencapai pangsa pasar 5,12 persen tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh yang melakukan konversi secara menyeluruh pada September 2016,” kata Ali.
Ali mengatakan saat ini masih terdapat BPD Nusa Tenggara Barat yang sedang berproses menjadi BPD Syariah dan beberapa BPD berpotensi melakukan konversi menjadi BPD Syariah. Potensi dana yang akan didapatkan dari konversi kedua BPD tersebut diperkirakan bisa mencapai Rp 9-10 triliun.
ABDUL MALIK