TEMPO.CO, Jakarta -PT Freeport Indonesia akhirnya menyetujui peralihan bentuk operasi dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Syarat ini diperlukan supaya Freeport dapat melanjutkan ekspor konsentrat tembaga yang terhenti sejak 12 Januari 2017.
"Freeport Indonesia telah menyampaikan kepada pemerintah kesediaannya untuk konversi menjadi IUPK. kami berharap Pemerintah akan segera memperpanjang izin ekspor," ujar Juru Bicara Freeport Riza Pratama, kepada Tempo, kemarin.
Kesediaan itu tidak gratis. Freeport mengajukan dua syarat kepada pemerintah: jaminan kepastian hukum dan fiskal, serta perpanjangan operasi. Riza berharap kesepakatan ini diteken dalam perjanjian tertulis guna stabilitas pertambangan mineral Freeport di Tembagapura, Papua.
Baca: Asosiasi Smelter Usul Konsentrat Freeport Diolah Swasta
Riza tidak menjelaskan kepastian hukum dan fiskal yang diinginkan perusahaan. Sebelumnya, dia mengatakan Freeport menginginkan tingkat kepastian hukum dan fiskal yang sama dengan kontrak karya. Padahal, berdasarkan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, aturan fiskal IUPK diatur berdasarkan peraturan pemerintah.
Diketahui, rezim IUPK mengatur pungutan-pungutan berupa iuran tetap, royalti, dan retribusi daerah. Sementara komponen pajak yang ditarik adalah pajak bumi dan bangunan serta pajak penghasilan. Besarannya pun berubah-ubah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (prevailing).
Sementara dalam rezim kontrak karya, Freeport hanya dikenai pungutan royalti dan iuran tetap. Perusahaan juga hanya membayar pajak penghasilan badan, pajak bumi da bangunan, serta pajak daerah. Besaran ini tidak berubah-ubah karena termaktub dalam kontrak (nailed down).
Baca: Kepastian Perpanjangan Kontrak Freeport, Ini Kata Arcandra
Selain soal fiskal, IUPK memuat enam substansi antara lain penyempitan luas wilayah, peningkatan penggunaan komponen lokal (TKDN), kewajiban divestasi, dan kewajiban penghiliran barang tambang.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi Nomor 5 Tahun 2016, Freeport bisa mengajukan proposal peralihan terhitung sejak 11 Januari 2017. Persetujuan peralihan diputuskan pemerintah maksimal dua pekan sejak proposal diterima Kementerian Energi.
Meski begitu, pemerintah membatasi masa ekspor konsentrat hanya mencapai lima tahun. Menteri Energi Ignasius Jonan berharap pada waktu tersebut, seluruh aktivitas pengolahan dan pemurnian dilakukan di dalam negeri.
Periode ekspor juga diperpanjang dari enam bulan menjadi setahun. Perusahaan wajib menyampaikan rencana kemajuan smelter selama setahun ke depan sebagai salah satu dokumen yang wajib dilampirkan. Evaluasi pembangunan fasilitas bakal dilakukan setiap enam bulan. Kementerian mengancam bakal mencabut surat rekomendasi ekspor jika realisasi pembangunan smelter tidak mencapai 90 persen dari target yang diusulkan perusahaan. Kementerian nantinya menunjuk pengawas independen yang mengawasi pembangunan smelter.
Jonan mengatakan tidak ada tawar-menawar bagi perusahaan untuk menjadi IUPK. "Kalau negonya persyaratan, enggak mau saya. Ikuti saja, persyaratan itu make sense kok."
Soal perpanjangan, dia menjamin pemerintah bakal berkomitmen selama Freeport membangun smelter. Jonan mengemukakan pembahasan peralihan status menjadi IUPK bisa bersamaan dengan perpanjangan kontrak.
Namun, dia mewanti-wanti Freeport, jika smelter tidak terbangun dalam lima tahun, komitmen perpanjangan akan dicabut. Saat ini, fasilitas pemurnian yang dibangun Freeport kemajuannya mandek di angka 13 persen.
Diketahui Freeport menginginkan perpanjangan operasi hingga 2041. Kontrak karya saat ini bakal kadaluwarsa pada 2021. Jonan tidak bisa menjanjikan berapa tahun perpanjangan bakal diberikan. "Berapa lama? Nanti rundingannya mau bagaimana, benefitnya untuk negara apa."
ROBBY IRFANY