TEMPO.CO, Jakarta -Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 ternyata tidak membuat proses pelepasan saham PT Freeport Indonesia berjalan mulus. Sampai saat ini belum ada jalan keluar atas perbedaan perhitungan aset yang dipakai kedua belah pihak.
”Freeport belum memberikan tanggapan lagi. Tapi, ya nanti, masih ada hal lain yang harus diselesaikan,” ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot Ariyono kepada Tempo di Jakarta, Rabu, 18 Januari 2017..
PP Nomor 1 Tahun 2017 mewajibkan seluruh perusahaan tambang modal asing melepas kepemilikan (divestasi) sebesar 51 persen ke pemerintah. Aturan sebelumnya, perusahaan yang menambang bawah tanah (underground mining) hanya diizinkan melepas saham maksimal 30 persen. Begitu pula perusahaan yang membangun smelter, boleh melepas saham 44 persen. Keharusan melepas 51 persen, dalam aturan sebelumnya, hanya berlaku bagi perusahaan pertambangan terbuka (open pit).
Baca: Asosiasi Smelter Usul Konsentrat Freeport Diolah Swasta
Masalahnya, regulasi baru tidak memuat acuan perhitungan saham, melainkan hanya mengatur divestasi dihitung berdasarkan harga pasar yang wajar. Menurut Bambang, aturan divestasi bakal termuat lebih lanjut dalam peraturan menteri. "Aturannya belum keluar," kata dia.
Baca Juga:
Pembahasan divestasi sebenarnya sudah dimulai sejak tahun lalu. Nilai saham dihitung oleh Tim Penyelesaian Divestasi yang melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Sekretariat Kabinet. Saat itu, Freeport melepas 10,64 persen saham.
Baca: Kepastian Perpanjangan Kontrak Freeport, Ini Kata Arcandra
Namun sampai sekarang prosesnya terkatung-katung lantaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menolak hasil valuasi 10,64 persen saham senilai US$ 1,7 miliar. Kementerian menganggap harga seharusnya hanya US$ 630 juta atau Rp 8,19 triliun. Pemerintah menggunakan skema perhitungan saham berdasarkan biaya penggantian investasi atau replacement cost. Skema itu diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2013.
Bambang mengatakan harga yang ditawarkan Freeport mahal karena memasukkan komponen cadangan tembaga di wilayahnya hingga 2041. Dia yakin, jika Freeport menggunakan skema yang sama, perbedaan harga tidak akan terjadi.
Menteri Energi Ignasius Jonan mengatakan perhitungan aset divestasi bakal menggunakan nilai pasar yang wajar. Dia menolak memakai metode replacement cost karena aturannya multi-tafsir.
Namun dia menegaskan Freeport tidak bisa memasukkan cadangan sebagai salah satu acuan dalam menghitung aset. Sebab, cadangan yang belum dikeruk adalah milik negara. ”(Memasukkan cadangan) itu merugikan negara," ujar Jonan.
PT Freeport tetap mengklaim perhitungan saham divestasi sudah sesuai dengan permintaan pemerintah. Menurut juru bicara Freeport, Riza Pratama, saham dihitung berdasarkan analisis nilai pasar yang wajar dari operasi tambang Grasberg, sesuai dengan hak jangka panjang dalam kontrak karya. Tujuan laporan nilai saham, kata Riza, untuk memuluskan negosiasi perpanjangan kontrak.
Meski demikian, Freeport berkomitmen tetap menghormati sikap pemerintah. "Kami akan meninjau dan merespons setiap tanggapan yang kami terima dari pemerintah," ujar Riza kepada Tempo, beberapa waktu lalu.
Riza mengatakan perusahaan siap mengakhiri kontrak karya untuk beralih bentuk operasi menjadi izin usaha pertambangan khusus. Tapi perusahaan mengajukan dua syarat kepada pemerintah, yakni jaminan kepastian hukum dan fiskal serta perpanjangan operasi. Perusahaan berharap kesepakatan diteken dalam perjanjian tertulis untuk stabilitas pertambangan mineral Freeport di Tembagapura, Papua.
ROBBY IRFANI