TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perdagangan bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sedang mengkaji ulang manfaat dan biaya untuk bergabung dengan perjanjian Perdagangan Kemitraan Trans Pasifik (TPP). Hal itu dilakukan pasca keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengeluarkan keputusan resmi menarik diri dari perjanjian yang melibatkan 12 negara itu.
“Indonesia sedang mengkaji cost and benefit bergabung atau tidak bergabung ke TPP. Keputusannya tidak ditentukan AS stay or leave, tapi manfaatnya bagi Indonesia apa,” ujar Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo, saat dihubungi Tempo, Selasa, 24 Januari 2017.
Baca Juga: Trump Umumkan Hentikan Kerja Sama Trans Pacific Partnership
Iman berujar pemerintah saat ini mengkaji dengan memodifikasi hitungan manfaat bergabung dengan TPP. “Kami mengeluarkan AS dari hitung-hitungan, menguntungkan apa semakin costly,” ucapnya. Menurut dia, keputusan yang diambil dilakukan berdasarkan analisa yang jelas serta terukur.
Namun, Iman belum bisa memastikan waktu selesainya hasil kajian itu. “Harus ditanyakan dulu karena koordinasi kajiannya ada di Kemenko Perekonomian.”
Donald Trump seperti diketahui menepati janjinya pada masa kampanye dengan resmi menandatangani perintah tertulis kepada kabinetnya untuk menarik diri dari TPP. “Kami telah melakukan hal besar untuk para pekerja Amerika,” ujar Donald Trump, usai proses penandatanganan, Selasa, 24 Januari 2017.
Simak: Dolar AS Ambruk Akibat Kebijakan Proteksionis Donald Trump
Donald Trump memutuskan AS harus keluar dari TPP agar perekonomian dalam negeri dapat berkembang dan mengembalikan kesempatan pekerjaan kepada masyarakat AS. “Kami memastikan setiap perjanjian perdagangan harus mengutamakan kepentingan pekerja Amerika,” katanya.
Kebijakan Donald Trump memproteksi pasar AS itu dinilai bisa memberi peluang tersendiri bagi Indonesia. Menurut Investment Director Indonesia PT Aberdeen Asset Management Bharat Joshi, dalam mendorong pembangunan di AS, akan diperlukan pasokan komoditas, salah satunya besi. Dengan begitu, permintaan komoditas diperkirakan akan meningkat.
Baca : Dampak Trump, Pemerintah Diminta Waspadai Pelarian Dana
Permintaan yang meningkat akan mendorong kenaikan harga komoditas itu. "Diharapkan dengan kebijakan dari Amerika ini justru akan membawa peningkatan, karena untuk membangun manufaktur mereka juga butuh komoditas seperti copal, bijih besi, dan lain-lain," ucap Bharat Joshi di kantor Aberdeen Asset Management, Selasa, 24 Januari 2017.
Baca : Dolar AS Ambruk Akibat Kebijakan Proteksionis Donald Trump
Bharat berharap, dengan kenaikan harga komoditas akan memberikan kontribusi terhadap pada pertumbuhan ekonomi nasional (produk domestik bruto), tak hanya di Jawa, namun juga di luar Jawa. "Komoditas yang meningkat, mendorong level pendapatan bukan Jakarta atau Jawa tapi Sumatera, Kalimantan," kata dia.
Di sisi lain, jika pertumbuhan ekonomi meningkat, hal tersebut diharapkan jiga dapat mendorong daya beli masyarakat, serta meningkatkan investasi. Karena pada saat harga komoditas menurun, banyak perusahaan yang menahan investasinya. "Mereka akan beli mobil, motor, mendorong perusahaan Indonesia untuk memulai investasi," ucapnya.
GHOIDA RAHMAH