TEMPO.CO, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi sepanjang 2016 diperkirakan akan menyentuh 5 persen atau mengencang dibandingkan 2015 yang sebesar 4,8 persen. Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), Anton Hermanto Gunawan, mengatakan ekonomi sepanjang tahun lalu bisa tumbuh moderat. Hingga kuartal III 2016 ekonomi tumbuh 5,4 persen.
“Angka inflasi sepanjang tahun lalu relatif rendah yakni 3,2 persen. Defisit transaksi berjalan juga menyusut menjadi 2 persen pada 2016 dibandingkan 2,1 persen pada 2015,” ujar Anton, dalam hasil risetnya yang dipublikasi pada Jumat, 27 Janurai 2017.
Baca : Kepemilikan Saham Investor Domestik Cetak Rekor Tertinggi
Menurut Anton, pada 2016, neraca pembayaran membukukan surplus ditopang oleh arus modal yang mengalir masuk ke Indonesia. Kondisi itu mendorong level cadangan devisa membukukan kenaikan dan sedikit penguatan nilai tukar rupiah. “Banyak prediksi termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) menilai Indonesia cukup solid mengelola ekonomi meskipun menghadapi volatilitas pada 2016,” ungkapnya.
Meski begitu, Anton melihat masih ada kelemahan ekonomi Indonesia sepanjang tahun lalu. Di antaranya lemahnya perbaikan dalam defisit transaksi berjalan, angka inflasi yang di bawah normal, serta rendahnya penerimaan pajak jika tidak menghitung penerimaan dari program pengampunan pajak. Kemudian, pertumbuhan kredit perbankan juga sangat melambat dan buruknya kualitas aset perbankan yang menggambarkan masih lemahnya permintaan domestik dan kondisi bisnis.
Anton mengatakan dari perspektif ekonomi global ada beberapa peristiwa signifikan yang dimulai pada 2016 dan mempengaruhi iklim ekonomi dunia di masa mendatang. Di antaranya adalah keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (British exit/Brexit) dan terpilihnya Donald J. Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Dua faktor eksternal itu paling berpengaruh terhadap meningkatnya ketidakpastian global dan sentimen proteksionis.
Baca : Tertahan Data Ekonomi AS, Kurs Rupiah Menguat Tipis
Secara drastis, kata Anton, kebijakan ekonomi Amerika yang lebih berorientasi ke dalam negeri, dibarengi dengan janji peningkatan peranan kebijakan fiskal diperkirakan akan mendorong pemulihan ekonomi dan inflasi AS dalam jangka pendek, serta normalisasi suku bunga lebih cepat. Tren penguatan dolar AS diperkirakan akan berlanjut sehingga modal asing sebagian mulai mencari aset-aset yang aman. Kondisi itu berpotensi membuat guncangan di pasar modal negara-negara berkembang.
Anton mengatakan negara-negara berkembang termasuk Indonesia mungkin masih menarik bagi sebagian investor yang ingin mencari imbal hasil tinggi dengan risiko tinggi pula. Sepanjang 2016, kenaikan harga komoditas, khususnya komoditas ekspor Indonesia, diperkirakan akan melambat pada 2017. “Namun kenaikan itu telah menimbulkan rasa optimisme bagi sebagian wilayah Indonesia yang mengandalkan komoditas, setelah sebelumnya merasakan dampak anjloknya harga,” ungkapnya.
ABDUL MALIK