TEMPO.CO, Tangerang -- Perayaan Imlek yang jatuh pada Sabtu 28 Januari 2017 membuat Museum Benteng Heritage ramai dikunjungi wisatawan. Mereka ingin menyaksikan dari dekat peninggalan sejarah yang tersimpan dalam musium.
Apalagi lokasinya berada tak jauh dari Klenteng Boen Tek Bio di kawasan Pasar Lama Kota Tangerang. Pada perayaan Imlek tak kurang 3000-umat bersembahyang di klenteng tua itu.
Sama menariknya dengan bangunan klenteng yang dibangun pada abad 17, Musium Benteng Heritage juga menjadi musium Tionghoa peranakan pertama di Indonesia yang diakui UNESCO. Tidak hanya isi museum yang merupakan koleksi si empunya Udaya Halim, 58 tahun namun bangunan kuno ini menjadi daya tarik tersendiri.
Menurut Robi, pemandu museum, para pengunjung beragam usia dan berbagai kalangan, ada perorangan adapula rombongan anak sekolah maupun komunitas atau mahasiswa. Mereka mengadakan penelitian. Wisatawan macanegara juga kerap mengunjungi musium.
"Tahun ini belum kami hitung, ada peningkatan memang menjelang Imlek apalagi media televisi yang antri, hari biasa kebanyakan rombongan anak sekolah dan komunitas,"kata Robi, Ahad 29 Januari 2017.
Menilik data grafik pengunjung,Tempo melihat catatan yang ditunjukan petugas musium bernama Dani, pada tahun 2016 setiap bulan pengunjung rata-rata 400-an orang, bahkan pada Maret tahun lalu mencapai 669 pengunjung.
Lokasi museum yang menjorok ke dalam gang di jalan Sulame ditempuh dari jalan Ki Asnawi kawasan Pasar Lama tidak menyurutkan para pengunjung. Mereka masuk melalui pasar tradisional. Aktivitas pasar terlihat hingga depan museum.
Museum itu merupakan bangunan kuno yang dibangun sekitar tahun 1684 bersamaan dengan dibangunnya Kelenteng Boen Tek Bio. Berdirinya musium karena peran Udaya Halim, warga peranakan Tionghoa, yang menghabiskan masa kecil di jalan Sulame.
Demi menyelamatkan sejarah, Udaya membeli bangunan kuno yang kondisinya saat itu amburadul pada tahun 2009. Pria yang hobi fotografi dan bergelut dalam usaha kursus bahasa Inggris itu lalu merestorasi bangunan menjadi sebuah museum kebanggaan warga Kota Tangerang.
Udaya bahkan tidak mengubah bangunan sedikitpun, justru mempertahankan dinding bata, lantai atas dan pintu serta jendela berbahan kayu jati. "Lantai terakota bawah dan teras juga saya pertahankan,"katanya kepada Tempo.
Benteng Heritage yang diresmikan.pada 11 November 2011 saat ini menjadi musim warisan budaya peranakan Tionghoa.
"Merestorasi bangunan yang kondisinya sudah berantakan butuh tantangan, orang bilang saya sudah gendheng (edan). Saya mengadakan riset, mengumpulkan artefak-artefak hingga menjelajahi 30 musium diantaranya Australia, Taiwan, Singapura, Malaka. Dibenak saya pokoknya museum, museum, museum,"kata Udaya yang tidak mau menyebutkan nilai investasi yang telah dia keluarkan.
Tidak tanggung-tanggung Udaya juga menyempatkan mengikuti modul kuliah dari Museum Study di Edith Cowan University Perth Australia.
Udaya pun mengisi museum dengan benda-benda kuno seperti menempelkan lempengan batu prasasti tangga jaman peninggalan tahun 1920, kebaya encim bordir dan batik yang dbuat awal abad 20 oleh warga Tangerang.
Ada lagi dompet mote pengantin, ban pinggang motif killin abad 19. Koleksi lainnya adalah dachin atau opium scales buatan Indonesia, Tiongkok, Jepang dan Korea abad 19 dan 20.
Selain benda koleksi kuno di atas bangunan bagian tengah ada relief yang menceritakan karakter Jendral Kwan Kong yang setia, jujur dan gagah berani.
"Waktu sebelum restorasi warnanya kusam nyaris tak terlihat, kemudian dibersihkan dan warna cat asli terlihat cerah warna nya didominasi hijau tosca, merah, putih dan kuning gading,"kata Udaya.
Sebelum menjadi musium, rumah ini sebelumnya dijadikan tempat perkumpulan komunitas Tionghoa, ini ditunjukan tidak ada bangunan kamar dan dapur.
Ciri khas bangunan Tionghoa ini terdiri atas bangunan utama di tengah, diapit dua bangunan di kiri dan kanan, serta bangunan belakang yang lebih tinggi. Pada atas atapnya berbentuk pelana kuda.
AYU CIPTA