TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Anton Hermanto Gunawan, memperkirakan Bank Indonesia akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 4,75 persen tahun ini, setelah tahun lalu melakukan pemangkasan cukup agresif sebesar 150 basis poin. Prediksi itu mempertimbangkan bahwa angka inflasi akan di kisaran 4,2 persen, sebagai dampak kenaikan tarif listrik.
“Adapun angka inflasi inti diperkirakan di bawah 4 persen karena konsumsi swasta diprediksi stagnan,” ujar Anton, dalam hasil risetnya yang berjudul “Outlook and Strategy 2017 Another Year of Fiscal Consolidation” dikutip, Ahad, 29 Januari 2017.
Baca: BI Prediksi Tarif Listrik dan STNK Dongkrak Inflasi Januari
Lebih lanjut, Anton memprediksi nilai tukar rupiah pada 2017 ini akan relatif flat atau tidak jauh berbeda dibandingkan 2016. Sepanjang tahun lalu, rata-rata nilai kurs rupiah berada di level Rp 13.400 per dolar Amerika Serikat dan tahun ini diperkirakan hanya melemah sedikit, yakni Rp 13.450 per dolar Amerika. Kebijakan politik pemerintah Amerika Serikat yang mengakibatkan ketidakpastian ekonomi global dan normalisasi kebijakan Bank Sentral Amerika (The Fed) bisa mendorong terjadinya volatilitas sektor keuangan tahun ini.
“Nilai defisit transaksi berjalan kami perkirakan akan tetap terkelola di level -2,2 persen dari produk domestik bruto (PDB),” ungkapnya.
Apa saja risiko ekonomi tahun ini? Menurut Anton, risiko utama ekonomi Indonesia tahun ini adalah masih soal harga komoditas yang dinilai bagaikan “pedang bermata dua”. Dia memperkirakan harga rata-rata minyak mentah, batu bara, dan minyak sawit mentah (CPO) pada 2017 adalah masing-masing di level US$ 56 per barel, US$ 70 per metrik ton, dan US$ 670 per metrik ton. Risiko terbesar terhadap PDB nasional jika harga batu bara dan CPO anjlok lebih dalam dari perkiraan.
“Ini karena kami yakin dampak kenaikan harga CPO dan batu bara akan positif terhadap konsumsi swasta,” katanya.
Baca: Aturan Sistem Pembayaran Nasional Rampung Triwulan I-2017
Menurut Anton, dia melihat optimisme dari para pelaku bisnis di kawasan luar jawa yang berbasis komoditas karena kenaikan harga pada tahun lalu. Dampaknya terhadap kenaikan investasi mungkin relatif kecil, jika kenaikan harga hanya didorong sisi penawaran (pasokan). Risiko penurunan adalah apabila kenaikan harga minyak internasional terus berlanjut dan menyentuh level US$ 60 per barel sehingga berdampak pada kenaikan angka inflasi.
Tren kenaikan harga minyak, kata Anton, akan memaksa pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak karena harga keekonomiannya akan jadi lebih mahal dari level saat ini. Meskipun ada kebutuhan untuk melanjutkan konsolidasi fiskal dan perluasan basis pajak, tapi tahun ini pemerintah disarankan tidak terlalu ketat dalam melakukan pemangkasan belanja sebagaimana tahun lalu. “Kesenjangan angka penerimaan pajak kami perkirakan akan lebih sedikit tahun ini bahkan ada kemungkinan revisi anggaran pada pertengahan tahun bisa tidak diperlukan,” ujarnya.
ABDUL MALIK