TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil mengatakan, pemerintah masih merumuskan pengenaan pajak progresif untuk tanah yang menganggur (idle). Tujuan pengenaan pajak progresif tanah menganggur tersebut untuk menghilangkan spekulasi terhadap tanah yang tidak produktif sehingga harganya tetap terkontrol.
"Kalau kamu punya uang Rp 1 miliar misalnya, kalau taruh di bank, bisa digunakan untuk pinjaman bagi orang lain. Uang kamu bermanfaat. Kalau uang untuk beli tanah, tanah itu tidak bermanfaat apa-apa," kata Sofyan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin, 30 Januari 2017.
Baca Juga: Siap-siap, Tanah Nganggur akan Kena Pajak
Sofyan menjelaskan, pajak tersebut akan dikenakan terhadap keuntungan yang diperoleh dari penjualan tanah. "Misalnya, ada proyek Patimban. Orang beli tanah. Kan kita tahu harga tanah sekarang berapa, misalnya Rp 10 ribu per meter. Nanti kalau dijual misalnya harga Rp 100 ribu, yang Rp 90 ribu itu diprogresifkan pajaknya," ujarnya.
Pajak tersebut tidak akan dikenakan terhadap tanah pertama. Namun, Sofyan enggan memaparkan skema pengenaan pajak tersebut lebih jauh. "Masih kami rumuskan bagaimana mekanismenya, bagaimana menghitungnya, bagaimana pengecualian untuk kawasan industri dan land bank perumahan," katanya.
Menurut Sofyan, pembahasan mengenai pajak tanah idle tersebut masih dibicarakan di tingkat teknis dan belum disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Nantinya, pengenaan pajak bagi tanah yang menganggur tersebut akan dimasukkan ke dalam usulan revisi Undang-Undang tentang Pertanahan.
Simak: PT Pembangunan Perumahan Raup Kontrak Baru Rp 4,3 Triliun
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan pemerintah perlu berhati-hati dalam menetapkan pajak progresif bagi tanah menganggur. Sebab, selama ini banyak pengusaha properti yang menerapkan konsep cadangan lahan (land bank) untuk investasi.
Ali meminta pemerintah menetapkan batas waktu tanah tak terpakai yang akan dikenakan pajak tinggi. "Waktu yang dikategorikan menganggur seperti apa. Misalnya ketika pengembang punya land bank dan tahun ketiga baru akan dikembangkan maka bukan kategori sebagai tanah terlantar," kata Ali saat dihubungi Tempo, Selasa, 24 Januari 2017.
Menurut Ali, fluktuasi harga tanah tak bisa hanya diukur dari pajak bumi dan bangunan (PBB) yang selama ini dianggap pemerintah belum menyumbang pertumbuhan pajak yang signifikan.
ANGELINA ANJAR SAWITRI|PUTRI ADITYOWATI